Pada 27 Oktober 2020 silam Sukmo Harsono bertandang ke Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba). Bisa dibilang dia bukan orang sembarang. Sukmo adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk Panama City sekaligus merangkap Honduras, Kosta Rica, dan Nikaragua. Apa urusannya dubes ngeloyor sampai Tubaba?
Kunjungannya bersama rombongan tiada lain untuk menikmati destinasi wisata yang bertebar di sekujur daerah berjuluk Ragem Sai Mangi Wawai itu. Tak sekadar terpesona dengan keindahan dan keunikan obyek-obyek wisata yang ada, tanpa tedeng aling-aling dia juga mengapresiasi kepemimpinan Umar Ahmad (UA) yang menurutnya telah berhasil meng-make over wajah Tubaba yang usianya masih seumur jagung ini.
Kepada jurnalis yang mewawancarainya Sukmo bilang, UA pantas disebut sebagai bupati visioner dan anti mainstream. Pujiannya tak berhenti sebatas itu, Sukmo menambahkan, “Tak berlebihan bila disebut Pak Umar Ahmad adalah kepala daerah yang memiliki ide brilian”.
Benarkah penilaian Sukmo tidak berlebihan yang kalau meminjam istilah anak muda sekarang terlalu lebay?
Penilaian yang dilandasi subyektivitas sangat mungkin berpotensi berlebihan. Sebab landasan penilaian lebih mengedepankan cita rasa pribadi. Sebaliknya, penilaian obyektivitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam mengambil putusan atau tindakan.
Kalau kemudian Sukmo memilih diksi visioner atau orang yang memiliki pandangan atau wawasan ke masa depan, dan kecenderungan visioner biasanya anti mainstream, kiranya itu berkesesuaian dengan realita pencapaian Tubaba di tangan UA.
Tengok saja keberadaan Kompleks Islamic Center. Di dalam kawasannya berdiri Masjid Baitus Shobur atau disebut juga Masjid 99 Cahaya. Sebentuk bangunan masjid yang tak lazim lantaran tanpa kubah. Bentuk ini diinisiasi UA bukan untuk mengejar predikat anti mainstrean semata. Tapi punya alasan kuat.
Penjelasannya bisa disimak dari uraian Andramatin yang menjadi arsitek pembangunan masjid tersebut. Menurutnya, masjid sengaja dibuat vertikal sebagai perlambang prinsip hubungan manusia kepada penciptanya.
Sedangkan ketiadaan kubah dan menara juga bukan tanpa alasan. Andramatin menyebut, pada masa awal Islam pun masjid tidak ada kubah dan piranti lainnya.
Masih di dalam Kompleks Islamic Center. Di seberang masjid terdapat Sesat Agung. Kedua bangunan itu dikelilingi danau buatan. Sesat Agung sendiri dirancang secara horisontal sebagai simbol hubungan antarsesama manusia yang juga merupakan cerminan prinsip Islam.
Semua dibuat tak lepas dari konsep yang dikemas secara ikonik dan bernuansa modern, kendati tetap erat berpijak pada landasan budaya dan agama.
Tentang Kompleks Islamic Center sendiri, UA pernah menyebutkan, konsep pembangunannya bisa menjadi contoh buat semua karena mengandung filosofi ‘hidup di kandung badan, mati di kandung amal dan iman’.
Itu sedikit contoh yang berkenaan dengan konsep-konsep visioner pembangunan fisik. Tak melulu urusan fisik, UA juga mengopeni ‘pembangunan’ non-fisik. Terutama upaya membangun pola pikir-pola sikap masyarakat Tubaba.
Untuk bisa memahami konsepsi tersebut, sesungguhnya semua sudah tercermin sangat jelas melalui tagline yang disematkan UA untuk Tubaba lewat seuntai kalimat, “Pulang ke Masa Depan”. Tubaba tidak ada masa depan, karena Tubaba adalah masa depan itu sendiri. Apa pula itu maksudnya?
UA pernah mengulas bahwa masyarakat Tubaba dikenal dengan prinsip hidup sederhana, setara dan lestari. Ketiganya merupakan nilai yang terlahir dari Suku Baduy yang ada di sana.
Itu semua memberi pesan bahwa di Tubaba banyak sekali nilai lain yang masih ada di dalam konsep, tidak menjadi perilaku dan tidak berada di dalam tubuh setiap warga. Nilai-nilai itu sendiri sesungguhnya pucuk-pucuk pencapaian mulia.
“Dan Tubaba hari ini sedang menuju ke sana, Tubaba hendak pulang ke masa depan. Kalau pun sekarang ada upaya-upaya kami dalam membentuk orang dan juga ruang, tiada lain sebagai proses menuju pulang”.
Pemikiran-pemikiran demikian yang sama sekali tidak dangkal dan cenderung masih kurang meresap bagi saya sebagai orang awam ini, jelas menerbitkan kecurigaan tersendiri. Kecurigaan terhadap ‘tirakat’ atau lelaku yang dilakoni UA.
Saya curiga tentu banyak bacaan (referensi) yang sudah dikunyah oleh nalarnya. Sebab banyak orang berwawasan luas, apalagi visioner, tak jarang hasil dari kegandrungannya terhadap ilmu pengetahuan yang umumnya tertera di bahan bacaan.
Ditambah lagi ada sekian banyak taman bacaan masyarakat di Tubaba yang tumbuh kembang berkat campur tangan UA selaku kepala daerah. Saya memaknainya sebagai sikap respeknya terhadap budaya literat.
Namun satu ketika UA sempat memberi pengakuan saat diwawancarai sebuah media. Dia bilang, “Saya bukan orang gemar membaca. Tapi saya menangkap dari pendengaran. Saya banyak mendengar orang. Seperti mendengar ide dan saran.
Saat saya mendengar saya posisikan diri sebagai gelas kosong yang siap untuk diisi”.
Mungkin itu pengakuan jujur. Mungkin pula jurus ilmu padi yang makin berisi makin merunduk. Kalau pun itu sebuah nyatanya, saya memaknainya sebagai cara Iqro (bacalah) yang dilakoni UA.
Sedangkan berbagai terobosan yang diejawantahkannya dalam bentuk karya-karya tak lain adalah caranya ‘menuliskan’ dari semua hal yang pernah disimaknya (Iqra).
“Membaca sebenarnya tidak hanya sekedar membaca tulisan, tetapi juga membaca situasi. Itu adalah kemampuan-kemampuan kritis, kemampuan literasi yang harus ditumbuhkan juga,” ucap UA, saat memberi sambutan pada puncak acara perayaan hari jadi suratkabar harian Lentera Swara Lampung yang dipusatkan di Tubaba pada 30 September 2021 silam.
Saya akhirnya mesti mengangguk sepakat dengan penilaian Sukmo yang menyebut, “Tak berlebihan bila disebut Pak Umar Ahmad adalah kepala daerah yang memiliki ide brilian”. (Hendri Std)