Jurnalis dan Macan dalam Kandang

Hendri Setiadi

Rabu, 19 Maret 2025 - 14:27 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi Macan/Ist

Ilustrasi Macan/Ist

Hari-hari ini biarpun ada seribu berita, namun terasa sama. Isinya Seragam. Tak ubah lautan informasi yang serupa birunya. Pembedanya hanya pada nama media-media yang memberitakan. Tak lebih!

Prolog di atas sudah cukup lama menggelitik (tidak) sedikit jurnalis. Pada beberapa kesempatan tak jarang keluhan semacam itu digelindingkan lalu diperbincangkan. Tapi tak lama. Durasi pembahasannya hanya sebatas kopi di gelas tandas. Bubar tongkrongan, usai pula keresahan itu lantaran langsung tertimbun rutinitas redaksional yang menjebak.

Selanjutnya, irama pemberitaan yang ditemui kembali lagi pada fatsun keseragaman. Agaknya, di era reformasi dan demokrasi seperti sekarang, tak diperlukan Soeharto dan Harmoko untuk dapat menyeragamkan isi pemberitaan agar berkesesuaian dengan kehendak penguasa rezim, seperti di masa orde baru lalu. Cukup hanya algoritma google yang terbukti sanggup membikin takluk bertekuk lutut nyaris seluruh redaksi media. Media menghamba pada klik.

Baca Juga  Robohnya Patung Kami dan Fenomena Sen Kiri Belok Kanan

Segelintir media nasional, sebut saja majalah Tempo, yang menaruh keprihatinan besar terhadap persoalan di atas juga pernah mengeluhkan, di era revolusi digital seperti sekarang, ketika setiap saat kita tenggelam dalam tsunami informasi, jejak sebuah berita menjadi teramat pendek. Berita begitu cepat dirilis, tapi begitu mudah pula dilupakan. Sebuah berita dalam hitungan menit atau malah detik sudah segera tertimbun berita lainnya. Tak pelak, ingatan kita menjadi pendek. Lalu sebuah peristiwa tidak punya umur panjang. Untuk segera dilupakan.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana sebagian besar berita hanya menyentuh permukaan sebuah peristiwa dan yang ditulis tak lebih hanya puncak gunung es yang terlihat oleh semua orang. Tak heran bila kemudian berita-berita yang ada tampak sama. Fungsi pers untuk mengungkap apa yang tersembunyi tak tampak. News Value atau nilai berita melorot drastis. Lalu disusul dengan ikut menurunnya minat atau ketertarikan orang untuk membaca berita. Orang lebih nyaman scrolling, atau malah lebih percaya, dengan TikTok yang bombastis kendati rentan informasi hoaks.

Baca Juga  Menagih Profesionalisme Guru Bersertifikasi

Kalau pun orang “terpaksa” membaca berita, umumnya tak lebih sebatas baca judul. Lebih dari itu, kalau pun agak tergoda, paling banter membaca lead berita. Sebelum akhirnya hengkang berlalu. Sementara para jurnalis yang menulis berita-berita semacam itu sudah petantang-petenteng merasa puas telah menulis berita pendek nan seragam persis baju sekolah. Semua sudah lumrah berlangsung dan dianggap sebagai kelaziman.

Padahal, majalah Tempo berpandangan, perilaku demikian mirip tabiat macan di kebun binatang. Yang terlalu lama dikandangkan dan disuapi, tanpa menyadari kemampuan berburu para jurnalis itu sudah lama tumpul. Petantang-petenteng yang salah kaprah kiranya.

Baca Juga  Belajar Menambal Kredibilitas dari The New York Times

Kalau sudah begini dan salah kaprah itu sudah menjalar kemana-mana, tak perlu heran kalau pihak di luar lingkungan pers memiliki pandangan yang sama kelirunya, atau malah kadar kekeliruannya lebih kental lagi. Memandang nilai produk jurnalistik hanya setara tarif masuk kebun binatang.

Persepsi serupa itu kiranya sudah sangat terasa. Contoh paling mudah untuk ditelaah tengok saja betapa rendahnya nilai apresiasi pemerintah terhadap produk jurnalistik. Mirisnya lagi, tak ada lagi pertimbangan atas news value atau profesionalisme jurnalis. Di mata MoU semua itu tak berlaku.

Malah kalah posisi tawarnya dengan kepiawaian melobi dan kedekatan personal. Kemampuan jurnalistik malah seperti tai kucing yang tidak digubris. Bila perlu disiram saja biar terhalau menjauh. Dan aku pun pada akhirnya ikut lumpuh, bersimpuh menghamba pada keseragaman ini. Wassalam profesionalisme jurnalisme!

Berita Terkait

Alangkah Mahal Harga Demokrasi di Pesawaran, Pemenang Pemilukada Jangan Jemawa
Dana Pensiunan Guru Dibekap Koperasi Betik Gawi, Yakinlah Bunda Eva Bakal Atasi
Jurnalisme Sastrawi Tulisan Memikat yang Tidak “Laku”
Generasi Sat-set Wartawan Masa Kini
Menerka Arah Media Massa, Mau Untung Malah Buntung
Belajar Menambal Kredibilitas dari The New York Times
Obrolan Wartawan di Sela Ketupat Lebaran
Wartawan, Storyteller yang Bukan Pengarang Bebas

Berita Terkait

Kamis, 17 April 2025 - 18:54 WIB

Gubernur Lampung Ajak PPAD Bersinergi Wujudkan Lampung Maju Menuju Indonesia Emas

Kamis, 17 April 2025 - 18:37 WIB

Siap-Siap, Mulai Tanggal 1 Mei 2025 Pemprov Lampung Laksanakan Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor

Rabu, 16 April 2025 - 22:22 WIB

Pemprov Lampung dan APJII Bersinergi, Perkuat Digitalisasi dan Akses Internet Merata

Rabu, 16 April 2025 - 21:49 WIB

Pemprov Lampung Dukung Culture Literary Festival 2025, Tegaskan Komitmen Bangun SDM Unggul

Rabu, 16 April 2025 - 14:56 WIB

Kejati Selidiki Terbitnya Sertifikat dan Tagihan PBB di Kawasan TNBBS Lambar

Selasa, 15 April 2025 - 15:04 WIB

DWP Provinsi Lampung Gelar Halal Bihalal, Perkuat Sinergi dan Komitmen Perempuan Lampung Maju

Selasa, 15 April 2025 - 14:52 WIB

Pemprov Lampung Dukung Program Sekolah Unggul Garuda dan Kendalikan Inflasi Daerah

Selasa, 15 April 2025 - 14:42 WIB

TP. PKK Provinsi Lampung Gelar Rapat Koordinasi dan Halal Bihalal Penuh Kebersamaan

Berita Terbaru

Bupati Lampung Barat, Parosil Mabsus, saat memberi keterangan keberadaan perambah di TNBBS. (foto: Netizenku.com)

Lampung Barat

Parosil: Saya Dukung Pengosongan Hutan Lindung dari Perambah

Kamis, 17 Apr 2025 - 01:41 WIB