Pertanyaan yang disodorkan sebagai judul esai ini tentu bisa dianggap nyeleneh. Tak apa. Karena nyeleneh tidak selalu berkonotasi negatif. Terlebih Umar Ahmad (selanjutnya kita sebut UA) juga demen ‘nyeleneh’.
Kadar nyeleneh UA bisa kita takar saat dirinya dilantik sebagai bupati, menggantikan Bachtiar Basri yang melenggang ke kursi Wakil Gubernur Lampung pada 2 Juni 2014 silam. Nah, sejak itu UA memberi warna seutuhnya bagi Tubaba (Tulangbawang Barat).
Bukan sekadar menjadi ban serep, UA langsung tancap gas unjuk gigi. Ada banyak terobosan program yang tak lazim kemudian diimplementasikannya. Disebut tak lazim lantaran terobosan yang dibuat benar-benar out of the box. Tak sekadar menggugurkan kewajiban, asal ada program pembangunan atau yang penting terlihat kerja.
Saya mau bilang, kalau pun saat itu bupati Tubaba bukan UA, hampir dapat dipastikan orang itu tak akan pernah terpikir, apalagi sampai melakukan, program pembangunan seperti yang diinisiasi UA.
Mungkin akan ada yang menyangkalnya. Ya jelas dong, beda orang tentu beda style dan pola pikir. Itu benar, saya pun sepakat. Tapi saya masih tetap meragukan orang tersebut mampu mengimbangi terobosan seperti yang sudah dikerjakan UA. Karena pola pikir dan tindak-tanduk nyeleneh serupa itu hanya milik UA. Tak bisa digandakan, difotokopi.
Perlu juga dipertimbangkan bahwa pemikiran dan pola sikap UA sudah barang tentu dilandasi oleh passion tersendiri yang sangat identik dengan pengalaman batin dan pengalaman alam pikir seorang UA. Istilahnya, buku yang dibaca berbeda. Beda pula fatsun yang dianut.
Warna ‘nyeleneh’ itu makin menjadi-jadi manakala UA kembali didapuk sebagai bupati Tubaba untuk periode berikutnya. Saat pemilukada 2017 berlangsung, kenyelenehan lain pun terlihat. UA didukung tak kurang dari 10 partai besar. Rivalnya, tak tanggung-tanggung, kotak kosong. Kurang nyeleneh apalagi?
Tak hanya tampil sekadar nyeleneh atau asal bisa tampil beda semata. Hasil penghitungan suaranya pun mampu menerbitkan decak kagum. UA nyaris menang mutlak!
UA bersama pasangannya, Fauzi Hasan, meraup persentase 96,75 atau 167.284 suara. Sedangkan kotak kosong berisikan 5.625 suara, tak lebih 3,25 persen saja.
Apa arti dukungan suara mayoritas tersebut? Menurut saya tak lain tak bukan lantaran masyarakat cocok dengan kenyelenehan yang ditunjukkan UA. Biar nyeleneh hasilnya tidak remeh! ini perlu dicatat.
Memang senyeleneh apa sepak terjang UA di Tubaba sampai banyak warga kesengsem sedemikian rupa?
Sejumput contoh bisa disodorkan. Semisal, pembangunan yang dilangsungkan tanpa meninggalkan corak budaya setempat. Nilai-nilai mulia lokal diangkat, diberi tempat. Bahkan diistimewakan. Sebut saja, umpamanya, keberadaan Islamic Centre yang dipadu Rumah Sesat Agung Bumi Gayo. Lalu Relief Megoupak, Studio Tanoh Nughik serta Kota Budaya Uluan Nughik. Ini baru sekelumit destinasi wisata yang daftarnya masih panjang berderet kalau mau disebutkan.
Kemudian dari segi pembangunan dan perekonomian, UA yang mengakhiri masa jabatan 2022, meninggalkan pencapaian yang tertera jelas. Data Bappeda Provinsi Lampung mencatat capaian pertumbuhan ekonomi Tubaba pada 2022 berhasil melampaui capaian provinsi yaitu sebesar 4,49 persen. Angka kemiskinan tinggal menyisakan 7,44 persen.
Artinya, kondisi tersebut telah membawa Tubaba pada peringkat angka kemiskinan terendah ke 2 di Lampung. Sudah ah, terlalu panjang untuk disebutkan pencapaian lainnya.
Kalau esai ini kemudian dinilai menjilat, ya monggo. Saya juga yakin UA sangat tidak berkenan, malah pasti jijay, dijilat-jilat. Makanya mana mungkin saya lakukan itu, ulala.
Sebaliknya, tulisan ini sesungguhnya hanya sebentuk pelampiasan rasa iri terhadap masyarakat Tubaba yang sudah pernah menyicipi sentuhan tangan dingin UA.
Sebagai warga Lampung kepingin juga berkesempatan merasakan langsung kenyelenehan UA. Tapi apa mungkin? tak ada yang mustahil di dunia, apalagi di Republik Indonesia yang sebentar lagi menyediakan pintu masuk melalui gelanggang kompetisi pemilukada 2024. (Hendri Std)