Oleh: Ilwadi Perkasa
Belum selesai daerah menyesuaikan diri dengan Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan APBN 2026, datang lagi ancaman baru dari Menteri Keuangan akan menarik anggaran bila penyerapan lamban. Buat Lampung, ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, dipangkas dari awal, diancam di tengah jalan.
Alasan pemerintah pusat bisa dimengerti. Banyak daerah memang santai di awal tahun, serapan anggaran rendah, proyek belum jalan. Tapi di lapangan, persoalannya nggak sesederhana itu. Kadang lelang molor, dokumen berputar lama, bahkan pejabatnya takut tanda tangan karena trauma audit dan OTT. Akibatnya, uang mengendap, proyek tertunda, ekonomi lokal ikut tersendat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalahnya, di saat pusat menekan, daerah justru makin terlihat nggak punya ruang gerak. Otonomi yang mestinya bikin daerah mandiri malah terasa semu. Daerah disuruh lari, tapi tali sepatunya dipegang pusat. Bisa gerak, tapi setengah hati.
Lampung saat ini sedang menghadapi dilema klasik itu. Dalam rancangan APBD 2026, pendapatan ditargetkan Rp7,6 triliun. Ada SiLPA Rp1 triliun buat nutup defisit. Di atas kertas kelihatan aman, tapi faktanya Lampung masih hidup dari sisa anggaran tahun lalu. Sementara transfer pusat berkurang Rp580 miliar.
Ruang fiskal makin sempit, tapi kebutuhan rakyat nggak ikut menyempit. Di sinilah ujian sejati otonomi. Kalau pusat makin pelit, daerah nggak bisa terus menengadah.
Untungnya, Gubernur Rahmat Mirzani Djausal nggak mau menyerah. Ia tetap menegaskan, pembangunan harus jalan, terutama sektor infrastruktur dan pendidikan. Bahkan Lampung mulai gandeng swasta buat bangun jalan tanpa sepenuhnya bergantung pada APBD. Ini langkah berani, dan jujur saja, segar.
Waktunya Buka Dompet Sendiri
Sudah saatnya Lampung benar-benar mandiri. Potensi ada di mana-mana dari pertanian sampai pariwisata, dari industri sampai aset daerah yang tidur panjang. Tinggal keberanian dan kreativitas fiskal yang harus dibangunkan.
Daerah bisa mulai dari banyak pintu, berhutang, menggandeng investor lewat skema kerja sama publik-swasta, atau mengelola aset produktif biar nggak sekadar jadi angka di laporan. Pokoknya tidak boleh lagi hanya mengandalkan Badan Pendapatan Daerah. Semua OPD mulai mesti memikirkan target pendapatan dari pajak dan retribusi yang sah dan dipertanggungjawabkan.
Selama ini daerah cuma pelaksana, bukan pencipta nilai. Padahal kemandirian fiskal bukan soal cepat menyerap anggaran, tapi soal berani menciptakan sumber pendapatan sendiri. Karena kalau terus menunggu kiriman dari pusat, otonomi cuma jadi cerita setengah jalan.
Pusat bukan pelit, hanya mulai selektif, karena terlalu lama daerah dimanja tanpa hasil nyata. Lagi pula, pusat boleh pelit, tapi daerah jangan pelit ide. Ancaman Menkeu bukan untuk ditakuti, tapi untuk dijawab dengan inovasi. Karena otonomi sejati bukan soal siapa yang pegang dompet, tapi siapa yang punya keberanian membuka dompetnya sendiri.








