Bandarlampung (Netizenku.com): Pegiat media sosial Instagram, Rizki Anugrah Virgiawan, pemilik akun IG @lampunginsta mengingatkan ketiga pasangan calon Pilwakot Bandarlampung akan pentingnya kampanye dalam jaringan (daring) khususnya di media sosial untuk mendulang suara pemilih pemula dan milenial.
\”Di Bandarlampung, pengguna media sosial jelas lebih tinggi karena ibu kota provinsi, dan yang kedua kita punya bonus demografi dimana rentang usia pengguna media sosial 13-35 tahun, jelas suara pemula dan milenial sangat tinggi,\” kata Kiki sapaan akrabnya.
Kiki menyampaikan hal itu dalam kegiatan Sosialisasi Pilkada Bandarlampung Tahun 2020 di Easy Cafe Enggal yang diadakan Relawan Demokrasi Basis Warganet KPU Kota Bandarlampung, Sabtu (24/10). Kiki menjadi pembicara bersama Ketua KPU setempat, Dedy Triadi dan dihadiri Gerakan Pemuda Kalibalau Kencana dan selebgram.
\”Di Bandarlampung, dari 176.000 followers IG @lampunginsta, 36 persennya itu berada di lokasi Bandarlampung,\” ujar Kiki.
\”Artinya pengguna media sosial, khususnya Instagram, hampir 40 persennya berada di ibu kota provinsi,\” lanjut dia.
Menurut Kiki, tren pengguna media sosial di Bandarlampung memiliki berbagai macam klaster, dan Instagram masih nomor satu.
Di daerah kabupaten, selain Metro dan Bandarlampung, media sosial yang paling efektif justru Facebook.
\”Makanya untuk beberapa calon harus punya tim yang kuat analisisnya di media sosial jadi tepat sasaran dan tepat guna,\” katanya.
Masyarakat di perkotaan dan kaum milenial cenderung menggunakan media sosial setiap harinya, 4-5 jam. Media sosial tak lagi sekedar media tetapi juga representasi diri di dunia maya.
\”Dalam kaitannya dengan kampanye, media sosial adalah kunci menyampaikan visi misi,\” tegasnya.
Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju tiap tahunnya, media sosial menjadi kehidupan kedua di dunia maya setelah dunia nyata.
Dan menurut Kiki, kehidupan di dunia maya jauh lebih mudah disentuh sehingga mempermudah penyebaran visi misi.
Dalam sepuluh tahun terakhir, khususnya di Indonesia, tren pilkada, maupun pileg dan pilpres, medianya mulai bergeser. Terjadi transformasi atau perubahan dari media televisi dan radio, baliho, flyer, stiker, spanduk ke media sosial.
\”Di Lampung, baru di 2014 pada pilgub, ada tren dimana media sosial di Lampung benar-benar terasa, beberapa calon memiliki tim taktis untuk penanganan media sosial. Artinya baru 6 tahun terakhir media sosial benar-benar digunakan,\” ujarnya.
Namun di sisi lain, Kiki menyebutkan pemilih pemula dan milenial yang banyak menggunakan media sosial justru merupakan orang-orang yang apatis.
\”Dan ini tugas baru bagi KPU untuk menyosialisasikan di ranah milenial dan semakin berat karena ada pandemik.\”
Kiki menyoroti pilkada saat ini yang digelar di tengah pandemik, trennya di dunia maya bermakna negatif.
\”Sekolah enggak boleh pilkada boleh, sepak bola enggak boleh pilkada boleh, ini bukan hanya tugas KPU. Selain menyosialisasikan tahapan, juga menyosialisasikan pilkada bahwa pilkada ini memang penting diadakan di saat pandemik. Urgensinya itu apa,\” katanya.
\”Apalagi di masa pandemik bioskop buka, pemilih milenial tentu lebih memilih nonton ke bioskop daripada ke TPS,\” candanya.
Tugas KPU menjadi bertambah ketika digital media, khususnya media sosial, menjadi alat kampanye.
Tak lupa, Kiki mengapresiasi sosialisasi Pilkada Bandarlampung yang digelar Relawan Demokrasi Basis Warganet.
\”Dengan gaya kegiatan yang santai, lebih kekinian, dan lokasi yang lebih enak, ini mungkin sebenarnya satu terobosan yang menurut saya cukup patut diapresiasi juga,\” pungkasnya.
Ketua KPU Bandarlampung Dedy Triadi mengatakan pihaknya menyadari kalau KPU selama ini melakukan kegiatan sosialisasi yang monoton atau konvensional dan serius.
\”Kalau bicara pilkada, politik itu persepsinya sudah serius, kita ingin pilkada ini menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menjadi kesadaran politik bagi masyarakat,\” kata Dedy.
Salah satu tujuan KPU Bandarlampung mendesain kegiatan tersebut adalah untuk menggugah kesadaran politik masyarakat agar datang ke TPS pada 9 Desember mendatang.
\”Intinya yang menjadi pertanyaan besarnya adalah seberapa besar partisipan pilkada yang perduli dan sadar, secara rasional untuk terlibat memilih bukan karena faktor pragmatis,\” tutup dia. (Josua)