Ketika harga singkong kembali anjlok dan pemerintah pusat memilih menyerahkan urusan harga kepada daerah, Lampung (setidaknya sampai hari ini), tidak bereaksi dengan marah. Daerah ini memilih berpikir, bukan berteriak.
***
Surat resmi Kementerian Pertanian yang disampaikan kepada Gubernur Rahmat Mirzani Djausal menegaskan bahwa pengaturan harga singkong diserahkan kepada pemerintah provinsi.
Secara administratif keputusan itu sah, tapi secara politik, langkah tersebut menempatkan Lampung di posisi sulit, yakni harus menjaga stabilitas industri sekaligus melindungi petani tanpa dukungan fiskal yang memadai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di atas kertas, keputusan itu tampak sebagai bentuk desentralisasi. Namun dalam praktik, Lampung seperti dibiarkan menghadapi persoalan besar sendirian, antara menenangkan petani dan menjaga industri tapioka tetap beroperasi.
Bagi Lampung, itu bukan persoalan sederhana. Sebab, harga singkong diatur bukan hanya oleh pasar, tapi juga oleh kekuatan besar para pengusaha tapioka.
Maka, dapat dipahami bila Gubernur Mirzani mengaku begini, “Saya menyerah kepada oligarki.” Itu disampaikannya dalam nada tidak putus asa, tapi sebagai pengakuan jujur bahwa dominasi industri masih begitu kuat. Dari kejujuran itu, Lampung sepertinya tidak memilih konflik, tapi diplomasi.
Perjuangan itu, sudah sampai ke Istana. Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan Larangan Terbatas (Lartas) impor etanol dan tepung tapioka, sebuah langkah penting untuk menahan gelombang impor yang selama ini membuat harga singkong lokal terus jatuh.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pun menegaskan, kebijakan ini diambil untuk melindungi petani sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional.
Namun, perjuangan masih harus dilanjutkan dengan terus mendesak percepatan kebijakan Lartas dan mengawasi pelaksanaannya supaya tidak menjadi slogan di atas kertas.
Pemerintah pusat perlu memastikan tidak ada celah permainan impor, sementara industri diwajibkan menyerap singkong lokal dengan harga yang wajar. Jika ini gagal dijalankan, jeritan petani akan kembali terdengar, kali ini dengan rasa kecewa yang lebih dalam.
Gubernur Rahmat Mirzani sudah menyarankan agar pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) tepung tapioka, agar rantai perdagangan tidak dikuasai segelintir pelaku besar. HET bisa menjadi instrumen pengendali sekaligus moral ekonomi, memastikan keuntungan dibagi adil antara industri dan petani.
Di sisi lain, Lampung juga telah menyiapkan langkah antisipatif, mendorong alih tanam sebagian lahan singkong menjadi padi dan jagung di daerah dengan produktivitas rendah.
Langkah ini bukan bentuk menyerah, tetapi strategi rasional untuk menjaga keseimbangan ekonomi petani dan mengurangi risiko jatuh harga saat panen raya.
Bagi petani, jelas keputusan Amran sangat menjengkelkan. Namun sikap Lampung dalam menghadapi persoalan mesti tetap tenang, elegan. Tidak melawan dengan kata-kata keras, tapi menunjukkan daya tawar dengan kebijakan dan diplomasi. Tidak menantang pusat, tapi juga tidak tunduk pada keadaan.
Lampung harus memilih jalan tengah yang cerdas, bekerja tenang, tapi dengan arah yang jelas, yaitu menegakkan keadilan bagi petani dan memperjuangkan kemandirian pangan nasional.
Karena bagi Lampung, urusan harga singkong bukan sekadar soal ekonomi. Ini soal martabat rakyat, dan martabat tidak cukup dijanjikan. Ia harus diperjuangkan, lalu dijaga.***








