Bandarlampung (Netizenku.com): Komisi I DPRD Provinsi Lampung menggelar rapat dengar pendapat (RDP) persoalan kisruh lahan Sukarame Baru dan Sabah Balau di Ruang Rapat Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Rabu (10/11).
Dalam kesempatan tersebut, anggota Komisi I DPRD Provinsi Lampung sempat naik pitam lantaran pihak dari Kanwil BPN yang telah diundang tidak menghadiri rapat.
Kasubag Hukum PTPN VII Satria menjelaskan, pada tahun 1996 terjadi peleburan sehingga PTP X di Lampung dan Sumatera Selatan, Proyek Pengembangan PT Perkebunan XI (Persero) di Kabupaten Lahat Sumatera Selatan, dan Proyek Pengembangan PT Perkebunan XXIII (Persero) di Bengkulu menjadi PTPN VII sekarang.
Ia mengatakan, terjadi beberapa kali pelepasan aset yang pernah dilakukan. Pertama, pelepasan aset 350 hektar kepada Pemprov Lampung untuk kepentingan umum pada tahun 2010. Saat ini, lebih dikenal dengan Institut Teknologi Sumatera (Itera).
Pelepasan aset kedua pada tahun 2015 sebanyak 85,5 hektar untuk pembangunan Tol Trans Sumatera atas kewenangan pemegang saham. Dua pelepasan aset ini di bawah Kementerian BUMN.
“Pada saat masih PTP X, ada pelepasan aset 126 hektar kepada Pemprov Lampung untuk kepentingan umum pembangunan industri ke PT KAIL (milik Pemprov Lampung). Izinnya diberikan kementerian keuangan dengan sistem ganti rugi,” jelas dia.
Kemudaian, lanjut Satria, ada pelepasan langsung 218 hektar ada tahun 1991 kepada negara melalui Kepala Kantor Pertanahan Lamsel Sudijo sebagai wakil pemerintah.
“Bukan kepada pemprov, kami juga tidak menemukan dokumen kepada pemprov. Dan ini ada 30 April 1991 tentang tata cara pelepasan tanah oleh BPN Lamsel,” kata Satria.
Sehingga, lanjut Satria, setelah diserahkan, pihaknya tidak memiliki hak lagi atas tanah tersebut. Soal klaim warga setempat yang menyebut mendapat hak kelola sebagai karyawan PTP X, Satria mengaku tidak bisa memberikan kejelasan.
“Tidak ada lagi arsip soal pemberian hak kelola untuk masyarakat sehingga kami tidak bisa memastikan surat yang dibawa warga,” kata dia.
Di tempat yang sama, Kepala Bidang aset BPKAD Lampung Meydiandra mengatakan, dari 218,7 hektar tersebut, pemprov memiliki hak pakai 16,8 hektar. Di mana 6,3 hektar dikuasai oleh warga sehingga muncul wacana penertiban aset.
“Tanah itu terbelah dua, di Lamsel dan Bandar Lampung. Karena dua kabupaten terbelah, jadi 4 koma sekian hektar di Lamsel, dan sebelahnya 2 koma sekian hektar di Bandarlampung, tapi itu secara fisik hamparan,” katanya.
Menanggapi permasalahan itu, Ketua Komisi I Yozi Rizal mengatakan bahwa tidak ada tumpang tindih sertifikat antara warga dan pemprov.
“PTPN VII mengatakan menyerahkan aset kepada negara melalui BPN Lamsel. Sementara Pemprov mendapatkan hak pakai dari negara melalui BPN Lamsel. Nanti kita coba konfrontir karena data dari PTPN tidak lengkap karena surat untuk pengelolaan lahan tahun 1988 tidak ada di PTPN tapi mereka juga tidak bisa bilang kalau itu palsu. Kita juga akan kembali melakukan RDP, karena pihak BPN tidak hadir,” pungkasnya.(Agis)