Setelah angka-angka pariwisata Lampung menampakkan paradoks besar, wisatawan ramai, tapi hunian hotel menurun, pertanyaan berikutnya adalah mengapa hal itu terjadi dan bagaimana memperbaikinya.
Jawabannya ternyata bukan sekadar soal promosi yang lemah, tetapi soal arah kebijakan yang keliru, yakni Lampung terlalu lama mengejar kuantitas kunjungan, bukan kualitas pengalaman.
Wisata Lampung kini didominasi oleh perjalanan harian dari kabupaten sekitar. Warga dari Lampung Tengah, Metro, dan Tanggamus datang ke kawasan pesisir seperti Pesawaran, Bandarlampung, dan Lampung Selatan hanya untuk satu hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka berfoto di pantai, menikmati kuliner cepat, lalu kembali sore harinya. Pola one-day trip ini memang meningkatkan angka mobilitas, tetapi tidak menambah pendapatan signifikan bagi hotel, restoran, atau UMKM lokal.
Akibatnya, ekonomi pariwisata hanya bergerak di permukaan, sementara sektor akomodasi dan jasa wisata justru stagnan.
Minimnya event besar dan aktivitas yang mampu membuat wisatawan menginap turut memperparah situasi. Lampung belum memiliki agenda wisata tahunan berskala nasional yang mampu menciptakan “alasan untuk tinggal”. Tidak ada festival budaya yang konsisten, ajang olahraga bertaraf regional, atau event musik yang menarik massa luar daerah.
Sementara itu, harga tiket pesawat yang tinggi dan konektivitas darat yang belum efisien menambah hambatan bagi wisatawan dari luar Sumatera untuk datang dan menetap.
Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan jebakan yang berbahaya. Wisata Lampung terlihat sibuk, tapi sesungguhnya rapuh. Banyak yang datang, tapi sedikit yang tinggal. Banyak perjalanan, tapi sedikit transaksi.
Dalam konteks ekonomi, Lampung sedang menghadapi disonansi struktural di sektor pariwisata, mobilitas tinggi tanpa dampak ekonomi signifikan.
Jalan keluar dari jebakan ini bukan menambah promosi, tapi mengubah paradigma. Lampung perlu membangun wisata yang menahan, bukan sekadar menarik. Pemerintah daerah, pelaku industri, dan komunitas harus berkolaborasi menciptakan kegiatan yang memaksa wisatawan menginap—mulai dari festival kuliner, eco-run, hingga konser pantai. Daerah wisata yang selama ini hanya hidup di siang hari harus dihidupkan pada malam hari lewat atraksi budaya, pasar malam kreatif, dan pertunjukan lokal.
Pemerintah juga perlu menata ulang strategi transportasi dan aksesibilitas. Tanpa harga tiket yang kompetitif dan paket perjalanan yang terintegrasi, wisata Lampung akan terus kalah oleh provinsi tetangga.
Kerja sama dengan maskapai dan operator perjalanan bisa menjadi solusi, misalnya lewat paket “fly & stay” atau promosi stop-over tourism bagi pelancong lintas Sumatera.
Namun, yang paling penting adalah mengubah cara mengukur keberhasilan pariwisata. Lampung harus berhenti berbangga dengan jumlah kunjungan dan mulai menilai seberapa besar uang yang tinggal di daerah.
Indikator seperti lama tinggal, rata-rata pengeluaran wisatawan, dan kontribusi sektor akomodasi terhadap PDRB harus menjadi tolok ukur utama. Tanpa itu, Lampung hanya akan terus berputar di lingkaran semu. Ramai tapi rapuh, padat tapi tak produktif.
Empat bulan tersisa di tahun ini akan menjadi ujian. Jika Lampung berani melakukan koreksi arah, menggabungkan promosi kreatif dengan kebijakan strategis, sektor pariwisata masih bisa diselamatkan. Tapi bila tetap bertahan pada pola lama yang hanya mengejar angka, Lampung akan menutup tahun dengan catatan suram, wisata ramai, konomi lesu, dan penginapan sepi.
Pada akhirnya, keberhasilan pariwisata bukan soal berapa banyak yang datang, melainkan berapa banyak yang tinggal dan berkontribusi. Dan di situlah nasib ekonomi wisata Lampung akan ditentukan.








