Negara yang Tak Membaca Dirinya

Ilwadi Perkasa

Jumat, 31 Oktober 2025 - 18:36 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kita sering merasa sedang maju, padahal hanya sedang bergerak. beringsut sedikit karena lelah mematung. Kita menamai semua pembangunan sebagai kemajuan, meski tidak selalu mengandung pertumbuhan manusia di dalamnya. Kita bangga pada angka, tetapi abai pada makna di baliknya. Inilah bentuk kolonialisme yang masih mengendap di kesadaran dan meyakini bahwa kompetensi harus dibeli, bukan ditumbuhkan.

Kita percaya bahwa kemampuan bisa datang dari proyek, bukan dari proses. Dari pelatihan, bukan dari pengalaman. Padahal, bangsa yang terlalu sering membeli kepintaran akhirnya kehilangan keberanian untuk berpikir sendiri.

Dulu penjajahan berlangsung dengan senjata. Kini, ia datang melalui ketergantungan pada pengetahuan dan teknologi yang diimpor, semacam Whoosh. Kita mengundang konsultan, membeli modul, meniru kebijakan luar negeri, tetapi jarang mau menguji apakah semuanya benar-benar sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan. Maka lahirlah birokrasi yang sibuk menyalin, bukan menalar. Sibuk mencari untung, tanpa perduli dengan kerugian yang bakal ditimbulkan.

Dalam kondisi seperti itu, literasi kehilangan makna aslinya. Ia berubah dari kemampuan memahami menjadi sekadar aktivitas administratif. Kita membaca banyak laporan, tetapi tidak membaca realitas. Kita tahu cara menulis visi, tapi tidak tahu bagaimana menumbuhkannya. Maka tidak heran bila kebijakan sering gagal bukan karena kurang dana, melainkan karena kurang pemahaman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Yang lebih mengkhawatirkan, kebodohan kini dinormalisasi. Inkompetensi tidak lagi dianggap aib, tetapi hal yang biasa. Kita menoleransi pejabat yang tak paham data, tak pandai beragumen hingga tak paham makna efisiensi sesungguhnya. Nol rupiah pun dianggap sebagai kehebatan terlaksananya sebuah kegiatan yang dikampanyekan bakal menyuntikan pertumbuhan.

Akibatnya, kita pun terbiasa menerima keputusan omon-omon, salah arah,  yang penting  terdengar meyakinkan. Padahal bangsa yang terbiasa dengan inkompetensi akan berhenti menuntut kecerdasan dari pemimpinnya.

Dampaknya terasa dalam pertumbuhan ekonomi yang kita rayakan setiap tahun. Angka memang naik, tetapi daya pikir masyarakat tertinggal. Kita memuja pertumbuhan 5 persen menuju 8 persen, padahal sebagian besar masyarakat masih berputar di lingkaran yang sama, yakni kebodohan dan kemiskinan.

Kemiskinan tidak hilang karena bukan hanya soal uang, melainkan soal cara memahami dunia. Sebab, bangsa yang tidak membaca dirinya akan sulit menulis masa depannya. Sebab kemajuan sejati bukan soal berapa cepat kita bergerak, tapi seberapa dalam kita mengerti arah yang dituju. Di sinilah literasi semestinya menemukan bentuk tertingginya, bukan sekadar membaca teks, melainkan membaca konteks.

Pendidikan dan kebijakan seharusnya mengajarkan keberanian berpikir, bukan hanya kemampuan menyalin. Membangun bangsa tidak bisa dilakukan dengan membeli pengetahuan, melainkan dengan menumbuhkan nalar. Karena kompetensi sejati tumbuh, bukan diimpor.

Kita boleh mengundang banyak ahli, tetapi pada akhirnya, kemandirian berpikir adalah satu-satunya bentuk kemerdekaan yang tidak bisa dibeli. Dan selama kita masih percaya bahwa kepintaran dapat dibeli, maka kita sesungguhnya masih dijajah, bukan oleh bangsa lain, melainkan oleh ketidakpercayaan terhadap diri sendiri.

Berita Terkait

IPM Naik, Kerja Menguat: Lampung Menuju Pertumbuhan Inklusif
Lampung di Panggung Investasi, Tapi Pariwisata Masih Berjuang Naik Kelas
Program Strategis Lampung: Dari Data ke Dampak, dari Rencana ke Hasil
Dari Ladang ke Tangki, Dari Ubi ke Energi: Lampung Nyalakan Harapan Baru lewat Etanol
Lampung Melaju: Investasi Tinggi, Ekonomi Tangguh, Hilirisasi Menguat
Investasi Lampung 2025 Melesat, Kepercayaan Semakin Kuat
Sumbang Pikir untuk Keberlanjutan Ubi Kayu Lampung: “Menata Hilir, Menguatkan Hulu”
Dipangkas, Diancam Tarik, Pusat Kian Pelit

Berita Terkait

Sabtu, 8 November 2025 - 08:37 WIB

Ketika Modal Menyala, Ekonomi Lampung Bernyawa

Jumat, 7 November 2025 - 18:39 WIB

Catatan Penting Ekonomi Lampung 2025: Pertanian Menggeliat, Industri Bertunas, Lampung Menegaskan Diri sebagai Poros Ekonomi Sumatera

Jumat, 7 November 2025 - 13:25 WIB

IPM Lampung 2025 Naik, Kualitas Hidup Masyarakat Meningkat

Jumat, 7 November 2025 - 13:20 WIB

PT BTB Gandeng IJP Lampung Sosialisasikan Penyesuaian Tarif Tol Bakter

Jumat, 7 November 2025 - 04:33 WIB

Pasar Kerja Lampung Tetap Stabil, Meski TPT Sedikit Meningkat

Jumat, 7 November 2025 - 04:18 WIB

Ekonomi Lampung Triwulan III 2025 Tumbuh 5,04 Persen: Ekspor Menguat, Inflasi Terkendali, Pertanian Perlu Dukungan

Jumat, 7 November 2025 - 02:23 WIB

IPM Naik, Kerja Menguat: Lampung Menuju Pertumbuhan Inklusif

Kamis, 6 November 2025 - 16:03 WIB

DPRD Lampung Tegaskan Pabrik Wajib Patuhi Harga Acuan Singkong

Berita Terbaru

Pertumbuhan ekonomi - Ilustrasi - Freepik

Ekonomi

Ketika Modal Menyala, Ekonomi Lampung Bernyawa

Sabtu, 8 Nov 2025 - 08:37 WIB

Lampung

IPM Lampung 2025 Naik, Kualitas Hidup Masyarakat Meningkat

Jumat, 7 Nov 2025 - 13:25 WIB