Kita sering merasa sedang maju, padahal hanya sedang bergerak. beringsut sedikit karena lelah mematung. Kita menamai semua pembangunan sebagai kemajuan, meski tidak selalu mengandung pertumbuhan manusia di dalamnya. Kita bangga pada angka, tetapi abai pada makna di baliknya. Inilah bentuk kolonialisme yang masih mengendap di kesadaran dan meyakini bahwa kompetensi harus dibeli, bukan ditumbuhkan.
Kita percaya bahwa kemampuan bisa datang dari proyek, bukan dari proses. Dari pelatihan, bukan dari pengalaman. Padahal, bangsa yang terlalu sering membeli kepintaran akhirnya kehilangan keberanian untuk berpikir sendiri.
Dulu penjajahan berlangsung dengan senjata. Kini, ia datang melalui ketergantungan pada pengetahuan dan teknologi yang diimpor, semacam Whoosh. Kita mengundang konsultan, membeli modul, meniru kebijakan luar negeri, tetapi jarang mau menguji apakah semuanya benar-benar sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan. Maka lahirlah birokrasi yang sibuk menyalin, bukan menalar. Sibuk mencari untung, tanpa perduli dengan kerugian yang bakal ditimbulkan.
Dalam kondisi seperti itu, literasi kehilangan makna aslinya. Ia berubah dari kemampuan memahami menjadi sekadar aktivitas administratif. Kita membaca banyak laporan, tetapi tidak membaca realitas. Kita tahu cara menulis visi, tapi tidak tahu bagaimana menumbuhkannya. Maka tidak heran bila kebijakan sering gagal bukan karena kurang dana, melainkan karena kurang pemahaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang lebih mengkhawatirkan, kebodohan kini dinormalisasi. Inkompetensi tidak lagi dianggap aib, tetapi hal yang biasa. Kita menoleransi pejabat yang tak paham data, tak pandai beragumen hingga tak paham makna efisiensi sesungguhnya. Nol rupiah pun dianggap sebagai kehebatan terlaksananya sebuah kegiatan yang dikampanyekan bakal menyuntikan pertumbuhan.
Akibatnya, kita pun terbiasa menerima keputusan omon-omon, salah arah, yang penting terdengar meyakinkan. Padahal bangsa yang terbiasa dengan inkompetensi akan berhenti menuntut kecerdasan dari pemimpinnya.
Dampaknya terasa dalam pertumbuhan ekonomi yang kita rayakan setiap tahun. Angka memang naik, tetapi daya pikir masyarakat tertinggal. Kita memuja pertumbuhan 5 persen menuju 8 persen, padahal sebagian besar masyarakat masih berputar di lingkaran yang sama, yakni kebodohan dan kemiskinan.
Kemiskinan tidak hilang karena bukan hanya soal uang, melainkan soal cara memahami dunia. Sebab, bangsa yang tidak membaca dirinya akan sulit menulis masa depannya. Sebab kemajuan sejati bukan soal berapa cepat kita bergerak, tapi seberapa dalam kita mengerti arah yang dituju. Di sinilah literasi semestinya menemukan bentuk tertingginya, bukan sekadar membaca teks, melainkan membaca konteks.
Pendidikan dan kebijakan seharusnya mengajarkan keberanian berpikir, bukan hanya kemampuan menyalin. Membangun bangsa tidak bisa dilakukan dengan membeli pengetahuan, melainkan dengan menumbuhkan nalar. Karena kompetensi sejati tumbuh, bukan diimpor.
Kita boleh mengundang banyak ahli, tetapi pada akhirnya, kemandirian berpikir adalah satu-satunya bentuk kemerdekaan yang tidak bisa dibeli. Dan selama kita masih percaya bahwa kepintaran dapat dibeli, maka kita sesungguhnya masih dijajah, bukan oleh bangsa lain, melainkan oleh ketidakpercayaan terhadap diri sendiri.








