“Siapa yang tidak tahu? korupsi itu sudah biasa dan turun menurun, dari jadi staf saja sudah berusaha mencari keuntungan pribadi. Lumrah.” Begitu kiranya yang dikatakan oleh tukang fotokopi (sebutan pelaku usaha fotokopi).
Siapa menyangka, di balik bayangan omset besar dari usaha fotokopi yang dijalankan di lingkungan pemerintahan.
Terbentang realita pahit praktik kecurangan yang menjerumuskan para pelaku usaha ke dalam dilema moral.
Jauh dari kesan mudah dan menguntungkan, mereka dihadapkan pada pilihan sulit antara mendapatkan keuntungan secara finansial atau tetap menegakkan moralitas serta integritas.
Seperti halnya yang terjadi di berbagai usaha fotokopi di sekitaran lingkungan Kantor Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung.
Di lingkungan pemerintahan tertinggi di Lampung itu, tukang fotokopi dipaksa tutup mata dan menelan pil pahit saat mendapati oknum pegawai pemerintah yang mencoba berbuat curang dengan meminta menaikkan nilai nota jasa secara drastis. Tentunya tidak sesuai dengan harga sebenarnya.
Bayangkan saja, nominal jasa fotokopi yang seharusnya hanya menghabiskan Rp200 ribu dimanipulasi menjadi Rp10 juta.
Oknum pegawai pemerintah berseragam coklat yang sebenarnya telah dibayar mahal oleh pemerintah itu pun rela meminta stempel toko untuk melegalisir nota guna memuluskan aksi manipulatif nya.
Situasi seperti itu telah menghadirkan dilema yang cukup besar bagi para pengusaha fotokopi di lingkungan pemerintah.
Di satu sisi, mereka sadar bahwa tindakan tersebut merupakan praktik penunjang terjadinya korupsi yang merugikan negara dan bertentangan dengan nilai moral.
Namun disisi lain, para pelaku usaha itupun dihantui rasa takut kehilangan pelanggan setia, ketika mereka menolak permintaan pelegalan manipulasi nominal nota fotokopi.
Kendati demikian, di tengah godaan besar dan pasar usaha fotokopi yang menganggap lumrah praktik-praktik manipulasi nota. Masih adapula pengusaha fotokopi yang teguh memegang prinsip dengan berlaku jujur dalam menjalankan usahanya.
Para pengusaha fotokopi yang berprinsip ini memilih untuk menolak permintaan oknum, meskipun beresiko kehilangan pelanggan.
Sebab, bagi mereka risiko besar kehilangan konsumen di tengah pasar usaha fotokopi yang melegalkan praktik-praktik tidak jujur tersebut tidak sebanding dengan rezeki yang halal. Bukan mengejar keuntungan sesaat.
Bila dilihat lebih dalam praktik curang tersebut tidak hanya merugikan para pengusaha fotokopi secara finansial, tetapi juga melukai harga diri mereka.
Penulis menilai praktik manipulasi nota dengan keuntungan yang sedikit menimbulkan celah dosa sangat bertentangan dengan aturan agama. Itu juga yang dirasakan oleh pelaku usaha fotokopi.
Sayangnya meski aturan agama telah jelas melarang praktik yang tidak menjunjung nilai kejujuran, penawaran untuk menaikkan harga oleh oknum tetap terjadi di berbagai tempat usaha fotokopi yang berada di lingkungan Pemprov Lampung.
Adanya hal tersebut pun telah membentuk persepsi publik terutama para pelaku usaha fotokopi menyoal tindakan korupsi di tingkat pejabat tinggi pemerintahan akan terus terjadi.
Lantaran tindakan manipulasi dengan nominal yang tak seberapa menjadi tindakan wajar para pegawai pemerintah yang mungkin belum memiliki jabatan tinggi. Apalagi ketika mereka nanti sudah menduduki jabatan strategis, bisa lebih besar lagi memanipulasi keuangan demi keuntungan pribadi.
Timbul pertanyaan dibenak penulis. Bisa jadi semua mengetahui praktik curang tersebut? Bahkan tukang fotokopi pun tahu praktik itu. (*)