Hal ini dapat dilihat dengan makin banyaknya fenomena sengketa, konflik, dan perkara pertanahan, hal ini sesuai dengan data hasil validasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tahun 2021 yaitu terjadi 207 konflik pertanahan dengan total luas lahan setengah juta hektare (ha) dan warga yang terdampak sebanyak 198 ribu kepala keluarga (KK).
Sengketa pertanahan terjadi sesunguhnya cenderung akibat ketidakadilan, kekosongan hukum ataupun produk hukum yang tidak memadai akibat tarik-menarik berbagai kepentingan.
Hal ini menandakan kecenderungan menuntaskan permasalahan pertanahan masih akan menjadi isu utama dalam upaya pencapaian salah satu tujuan bernegara yaitu masyarakat adil dan makmur serta dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan hukum dari sudut pandang ilmu hukum positif yang menitikberatkan pada kepastian hukum.
Sebagai contoh Negara melalui BUMN dalam hal ini PT Perkebunan Nusantara VII dipercaya untuk mengelola lahan untuk digunakan sebagai perkebunan.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 pasal 2 ayat 1 :
“Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.