Bandarlampung (Netizenku.com): Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan, LAdA DAMAR Lampung, menyatakan sikap p<span;>asca dibahasnya RUU Tindak Pidana Kekekerasan Seksual (TPKS) yang semula RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PK-S) oleh Tim Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam Rapat Pleno Penyusunan RUU PKS pada Senin, 30 Agustus 2021 lalu.
LAdA DAMAR Lampung mengapresiasi langkah maju Tim Baleg DPR RI karena berkomitmen melanjutkan pembahasan di tengah tingginya angka kekerasan seksual saat pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Namun kami juga menyayangkan penghilangan pasal-pasal krusial yang melindungi korban,” kata <span;>Sely Fitriani selaku Direktur Eksekutif LAdA DAMAR Lampung dalam pernyataan persnya, Kamis (9/9).
Selly menuturkan berdasarkan pengalaman pendampingan FPL-LAdA DAMAR Lampung yang dilakukan oleh 115 lembaga layanan pendamping korban di 32 provinsi, masih membutuhkan agar 6 elemen kunci dipertahankan untuk menjawab persoalan di lapangan.
Mulai dari hukum acara yang lebih berpihak pada korban, 9 bentuk kekerasan seksual (KS) yang masih terjadi di masyarakat, pencegahan kekerasan seksual sebagai langkah taktis penanganan kasus KS, pemulihan korban yang komprehensif, koordinasi dan pemantauan, juga adanya ketentuan pidana yang mengakomodir 9 bentuk KS.
“Kami berpandangan, bahwa RUU PK-S yang dirubah menjadi TPKS seharusnya tetap menjadi pijakan hukum bagi hak korban KS dan keluarganya. Dimana selama ini belum diatur secara komprehensif dalam undang-undang,” ujar dia.
Selly menyesalkan beberapa elemen substansi yang sangat krusial untuk menjamin terpenuhinya hak-hak korban dan keluarganya justru hilang.
Menurut dia keterbatasan KUHAP dan beberapa kebijakan lainnya, seharusnya menjadi titik tolak RUU TPKS untuk mengakomodir dan meperkuat hak korban. Sehingga pemanfaatan RUU ini utuh untuk menjawab kebutuhan korban.
Peran lembaga layanan milik masyarakat yang selama ini memberikan pelindungan korban serta memperkuat peran dan tangungjawab negara perlu diakomodir sebagai langkah serius negara dalam penghapusan kekerasan seksual.
“Kami berpandangan bahwa pemangkasan 6 elemen kunci dalam draft awal menjadi langkah mundur bagaimana DPR memahami kompleksitas persoalan kekerasan seksual di lapangan selama ini,” kata Selly yang juga Ketua Forum PUSPA Kota Bandarlampung.
Adanya distorsi pengurangan jenis KS dari semula sembilan 9 jenis KS menjadi 4 jenis, menurut Selly menunjukkan ada kekurangan referensi dan kelemahan Tim Baleg DPR dalam mengelaborasikanya dengan kasus-kasus KS yang terjadi di masyarakat Indonesia.
“Pendekatan hukum yang digunakan untuk pemangakasan bentuk KS menjadi tidak relevan. Padahal 9 jenis KS ini bukan diambil dari ruang hampa namun didasari atas pengalaman pendampingan korban KS yang didampingi oleh FPL-LAdA DAMAR Lampung selama ini,” ujar dia.
Adapun 5 bentuk KS yang dihilangkan dalam RUU TPKS tidak bisa dijawab dengan bentuk lain KS seperti pelecehan seksual (Pasal 2), Pemaksaan memakai alat kontrasepsi (Pasal 3), Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 4), eksploitasi Seksual (Pasal 5) serta tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain lainya (6).
Selly menyampaikan beberapa temuan di daerah seperti dalam hal pembuktian, pemulihan, hukum acara pengalaman korban Pemaksaan Perkawinan, di Sulawesi, NTT dan NTB tidak bisa memotret persoalan kekerasan seksual yang ada di daerah.
Pengalaman korban Perbudakan Seksual yang tidak terkait pelangaran HAM dalam kasus di Makasar dan Gatot Brajamusti. Pengalaman korban Pemaksaan Aborsi yang dikriminalisasi, pengalaman korban pemaksaan pelacuran, dan Perkosaan dengan menggunakan benda tumpul dan relasi kuasa.
Serta tidak adanya aturan terkait kekerasan seksual berbasis online atau siber.
“Keterbatasan pasal yang mengatur hak korban untuk mendapatkan layanan pemulihan secara terpadu dan hak mendapatkan pendampingan dalam setiap proses peradilan juga menjadi salah satu catatan yang harus menjadi perhatian,” kata dia.
Tidak dijelaskannya Layanan Terpadu dan lembaga pendamping korban Terpadu, baik berbasis masyarakat maupun pemerintah, menjadi pertanyaan besar bagaimana negara memahami proses pendampingan korban kekerasan seksual.
Untuk itu FPL-LAdA DAMAR Lampung mendesak dan mendorong Baleg DPR RI untuk:
1. Membuka ruang diskusi secara terbuka yang melibatkan masyarakat terutama yang memiliki pengalaman dalam melakukan pendampingan dan korban yang sudah menjadi penyintas untuk perubahan naskah RUU PK-S;
2. Memasukan 6 elemen kunci yang menjadi inti substansi RUU PK-S yakni sembilan jenis KS, Pemidanaan, Hukum Acara Pidana, Pencegahan, Pemulihan dan koordinasi dan pengawasan;
3. Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidana perkosaan;
4. Memasukan kebutuhan khusus korban KS dengan disabilitas dalam aspek pencegahan, penanganan dan pemulihan. (Josua)