Bandarlampung (Netizenku.com): Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) telah masuk dalam 2 kali Prioritas Prolegnas pada periode Tahun 2016-2019 dan Tahun 2020-2024.
Setelah melalui serangkaian proses pembahasan yang cukup panjang dan mendapat masukan dari berbagai pihak, draft awal RUU ini yang berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah berhasil diselesaikan oleh Baleg DPR RI.
“Kami sangat mengapresiasi kerja keras Baleg DPR RI dalam penyusunan RUU TPKS yang prosesnya terbuka dan partisipatif dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait untuk memberikan masukan,” ujar Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam siaran pers yang diterima Netizenku, Jumat (26/11).
Selanjutnya draft awal RUU TPKS ini memasuki tahapan Rapat Pleno di Baleg untuk mendapat persetujuan dari fraksi-fraksi terhadap draft naskah RUU TPKS yang telah dihasilkan oleh Baleg DPR RI.
Setelah itu, Baleg akan membawa draft RUU yang sudah disepakati ke Rapat Paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR.
Namun sayangnya penyelenggaraan Rapat Pleno di Baleg untuk mengambil keputusan terhadap naskah draft RUU TPKS terkendala masih minimnya dukungan fraksi.
Hal ini menjadi keprihatinan kami karena RUU TPKS belum menjadi komitmen politik dan agenda prioritas mayoritas fraksi-fraksi.
Urgensi keberadaan RUU TPKS ini dibutuhkan mengingat jumlah kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat dan bentuk kekerasan seksual yang semakin beragam yang menyasar tanpa membedakan jenis kelamin.
Berbagai kebijakan dan aturan hukum yang ada saat ini masih sangat terbatas dan belum mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat.
Korban kekerasan seksual sampai saat ini masih sulit mendapatkan akses keadilan karena berbagai kendala dalam sistem hukum di Indonesia.
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi memang merupakan salah satu upaya untuk memberikan pelindungan korban kekerasan seksual.
Aturan ini merupakan peraturan teknis yang berlaku terbatas untuk mencegah dan melindungi korban dalam lokus tertentu yaitu di lingkungan perguruan tinggi yang tetap membutuhkan payung hukum lebih kuat seperti RUU TPKS.
Kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan kampus, tetapi terjadi dimana saja, baik di ruang privat maupun publik.
Oleh karena itu, kehadiran sebuah kebijakan yang kuat di tingkat nasional yaitu RUU TPKS tetap diperlukan untuk menindak pelaku kekerasan seksual, sebagai upaya nyata mencegah, menangani dan melindungi korban kekerasan seksual.
Untuk itu Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU P-KS menyatakan sikap :
1. Mengapresiasi kerja keras Baleg DPR RI dalam penyusunan RUU TPKS sebagai bentuk komitmen negara untuk memberikan pelindungan terhadap warga negaranya dari tindak pidana kekerasan seksual.
2. Meminta komitmen politik semua fraksi untuk mendukung draft RUU TPKS yang dihasilkan Baleg untuk dibahas lebih lanjut demi terwujudnya pencegahan, keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
Kepentingan korban haruslah diutamakan daripada kepentingan politik sebagai upaya konkrit menyelamatkan generasi penerus dan mewujudkan Indonesia maju tanpa kekerasan seksual.
3. Mendukung Baleg untuk menetapkan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR RI dan menyelesaikan pembahasan RUU TPKS tersebut paling lambat pada masa sidang I tahun persidangan 2021-2022.
4. Mendukung Baleg DPR RI untuk melanjutkan pembahasan RUU TPKS secara transparan, partisipatif dan inklusif dengan membuka akses dan memberikan ruang bagi kelompok masyarakat sipil termasuk lembaga penyedia layanan pendampingan korban, pendamping korban, dan korban kekerasan seksual dari kelompok marjinal untuk memberikan masukannya.
5. Meminta kepada DPR RI untuk mengesahkan RUU TPKS pada tahun 2021 dengan memastikan substansi RUU yang mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban kekerasan seksual, berfokus pada rumusan norma hukum untuk pelindungan dan pemulihan korban, dan menolak rumusan norma hukum yang berpotensi mengkriminalisasi korban. (Josua)