Sejumlah kelompok tani penerima dana bergulir program Revolving Sapi pada 2013–2014 di Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubaba) mengaku mengalami kerugian sejak awal program berjalan. Namun, mereka mengaku tetap diminta menyusun laporan keuntungan demi menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), meski kondisi usaha mereka merugi.
Tulangbawang Barat (Netizenku.com): Hal tersebut disampaikan Suja’i, anggota Kelompok Tani Harapan, dan Karpan, Ketua Kelompok Tani Mahesa Kencana, saat ditemui Netizenku.com di kediaman masing-masing, Kamis (17/4/2025).
“Kalau Kejaksaan manggil saya, saya senang sekali. Saya akan bongkar semuanya, saya sakit hati. Ini program sudah salah dari awal. Bahkan rumornya ada pejabat tinggi Tubaba yang terlibat, biar nanti Kejaksaan yang ungkap,” ujar Suja’i.
Menurutnya, saat program mulai merugi di tengah jalan, ia mengambil alih pengelolaan dana dari ketua kelompok sebelumnya, Pujiatno. Saat itu, dana dikelola secara transparan bersama anggota kelompok lainnya.
“Total dana pinjaman Rp700 juta. Sekitar Rp150 juta untuk membuat kandang, sisanya dibelikan sapi sekitar 36–40 ekor. Agunan kami ada enam sertifikat; empat sertifikat tanah perumahan dan ladang milik saya, dua lainnya milik Pak Pujiatno dan Pak Narno,” jelas Suja’i.
Ia juga mengaku sejak awal program penggemukan sapi tidak memberikan keuntungan, namun kelompok tetap diminta membuat laporan seolah-olah untung, agar bisa menyetorkan PAD. Hingga kini, kelompoknya sudah menyetor PAD sebesar Rp90 juta ke Bank Lampung, sementara cicilan pinjaman yang dibayarkan baru sekitar Rp60 juta.
“Kalau tidak ada akal-akalan dari dinas, kelompok tani ini tidak akan bangkrut. Program kami cuma bertahan sampai 2016. Saya juga pernah kirim surat ke Pak Kadis Nazaruddin, kalau agunan mau dijual tidak masalah, karena namanya utang ya harus dibayar,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Harapan, Pujiatno (65), mengaku hanya ikut-ikutan dalam program tersebut karena diarahkan oleh petugas penyuluh pertanian (PPL).
“Tahun 2014 saya cuma tanda tangan saja. Baru kali itu kami membentuk kelompok karena ada program. Sebelum 2016 usahanya sudah tidak jalan, sudah dialihkan ke usaha ayam potong, tapi sekarang kandangnya pun sudah roboh. Yang mengelola waktu itu Pak Suja’i, dia juga PNS,” tuturnya.
Senada, Karpan dari Kelompok Tani Mahesa Kencana, menyebut pihaknya juga menerima dana Rp700 juta yang digunakan untuk membeli 70 ekor sapi. Kandang sudah tersedia saat itu, sehingga langsung digunakan.
“Usaha kami cuma bertahan sampai 2016 karena sejak awal sudah merugi. Belum lama pelihara, sudah harus bayar PAD. Kami jual beberapa sapi buat bayar PAD, mulai dari Rp20 juta hingga Rp60 juta. Dalam MoU tertulis pinjaman harus dikembalikan dalam 3 tahun,” katanya.
Hingga kini, kelompoknya baru mengembalikan sekitar Rp190 juta ke Pemda melalui Bank Lampung. Terakhir mereka membayar pada 2018, dan masih tersisa tunggakan Rp510 juta. Ia mengaku agunan berupa sertifikat rumah dan lahan pertanian, semuanya diserahkan ke dinas tanpa surat kuasa.
“Kelompok ini baru kami bentuk karena diarahkan dinas dan PPL karena ada program ini,” ucap Karpan.
Ketua Kelompok Gembala Makmur, Aji Sukmayanto, juga mengungkap hal serupa. Menurutnya, dana sebesar Rp700 juta digunakan untuk membeli 42 ekor sapi dan membangun kandang. Sisa dana digunakan untuk membayar dua karyawan dan kebutuhan pakan.
“Program ini cuma bertahan sampai 2016 karena rugi. Ada juga yang mati 6–7 ekor. Harga jual sapi jauh di bawah harga beli. Kami pernah setor PAD Rp40 juta, dan setelah sapi habis dijual, kami kembalikan pinjaman sekitar Rp70 juta lebih melalui Pak Kadis Nazaruddin,” jelas Aji.
Ia juga menyayangkan kurangnya pendampingan dari dinas terkait, terutama dalam hal pemasaran. “Kami cuma dibina soal pakan dan kesehatan, itu pun tidak rutin,” katanya.
Menurut Aji, kelompoknya masih ditagih hingga tahun 2024 oleh Inspektorat. Agunan berupa dua sertifikat atas nama Nadir dan Sadarsyah. “Saya pasrah, karena tanggung jawab pengembalian pinjaman ini di saya sebagai ketua. Anggota sudah mundur semua,” pungkasnya. (Arie)