Ketika semua hal terasa sudah bisa dikondisikan. Pada saat pers telah dianggap friend sehingga pasti bisa diajak saling memaklumi. Maka, sedikit saja ada ungkapan yang dianggap tidak sejalan dengan “kelaziman” itu, hampir bisa dipastikan bakal dianggap “Agak laen, Kau!”
(Netizenku.com): Saya menghadiri acara Pemred Club yang melangsungkan buka puasa bersama yang juga dihadiri Gubernur Mirza, Sabtu (22/3/2025). Kedua host yang memandu obrolan meminta saya menguraikan perbedaan antara konten media sosial dan pemberitaan. Jujur, saya sempat kaget disodori pertanyaan tersebut. Bersamaan dengan itu tetiba melompat keinginan lain di benak saya.
Belum lagi sempat memutuskan abaikan saja pemikiran “liar” yang tetiba muncul -disebut liar karena isinya di luar konteks yang dikehendaki host duet maut Dolop dan Juniardi (dua wartawan senior yang jangan pernah tertipu oleh tampilan humble mereka, lantaran rendah hati keduanya disebabkan saratnya pengalaman jurnalistik yang mereka pikul) atau saya manut dengan keinginan dua sahabat saya tersebut. Saat masih menimbang-nimbang, tetiba pelantang suara sudah berada di depan hidung saya.
Sambil saya raih, pada saat itu juga saya sudah ambil keputusan untuk mbalelo dari keinginan host. Biarkan saja kalau kemudian Jun dan Dolop protes atas pembangkangan saya. Toh, nanti diajak ngopi bareng sambil ngudut dan ngobrol ngalor-ngidul, ngambeknya juga lekas hilang.
Saya diminta bicara di depan. Saya manut. Ini bagian dari siasat negosiasi. Menurut diawal, membangkang kemudian. Saya mulai membuka suara dengan menyodorkan sedikit basa-basi. “Kalau jawaban perbedaan antara konten media sosial dan isi pemberitaan,” ucap saya memulai pembangkangan, “Saya pikir semua sudah tahu”. Iya, dong. Namanya juga acara bareng Pemred (pemimpin redaksi) Club.
Detik berikutnya saya bersiap menjalankan misi mengungkapkan “pikiran liar” yang tadi serta merta berkelebat di benak. “Izin, Pak Gub,” ucap saya, sambil mengarahkan pandangan ke orang nomor satu di Lampung ini.
Sebenarnya saya tidak benar-benar mengarahkan tatapan ke wajah Gubernur Mirza, apalagi ke matanya, tepatnya saya melihat ke bagian persis di atas kepala gubernur. Dengan begitu, saya tidak akan terpengaruh dengan reaksi apa pun yang bakal tersirat dari raut wajah gubernur. Aman, pikir saya, kendati tetap menyelusup rasa dag-dig-dug.
“Saya tadi senang mendengar pemaparan Bapak tentang berbagai program pembangunan yang akan dijalankan, terutama dalam masa 100 hari kerja. Kalau Bapak amanah menjalankan mandat sebagai gubernur, tentu akan mendapat pahala.
Saya minta tolong, agar kami para jurnalis juga bisa kebagian pahala untuk mengabarkan berita-berita bermanfaat kepada publik. Tolong beri akses kami ke kadis-kadis Bapak, agar kami bisa memberitakan program-program kerja yang dijalankan. Sebab, bagaimana pun yang menjalankan program-program Bapak nantinya adalah para kadis,” kata saya, setidaknya kurang lebih begitu isi ucapan saya.
Saya berhenti bicara sejenak, untuk mengatur nada bicara sambil menanti-wanti diri untuk jangan sekali-kali menoleh ke arah Juniardi atau Dolop, karena keduanya pasti sudah pasang muka bete lantaran menyadari saya sudah membangkang atas kehendak mereka.
Detik berikutnya saya melanjutkan ucapan. “Tapi Pak Gub, kalau kadis-kadis masih seperti yang ada sekarang, saya tidak yakin mereka mau memberi akses pada kami. Mereka sudah salah persepsi. Lebih mengedepankan media sosial. Lantas kami diarahkan untuk menengok ke medsos kedinasan mereka.
Padahal, isinya cuma foto-foto apel hari Senin atau seremoni kumpul-kumpul. Yang begini tidak layak diberitakan. Kalau tidak ada berita, nanti Pak Gub dan jajaran dianggap tidak bekerja. Pak Gub perlu brainstorming mereka. Bahwa medsos itu hanya penunjang. Pemberitaan perlu dikedepankan,” kata saya nyerocos mirip orang yang gagal memaknai hikmah puasa dimana intinya; pengendalian diri.
Tapi saya tidak menyesal menyampaikan itu, apa pun kemudian risikonya. Sebab, menurut saya, kapan lagi punya kesempatan untuk mengabarkan ke Gubernur Lampung tentang tantangan riil yang kerap ditemui jurnalis saat meliput ke satuan kerja (satker).
Saya kembali menjeda ucapan. Tapi saya harus komit pada janji sendiri untuk tidak menoleh ke Juniardi dan Dolop yang mungkin sudah ke tahap merutuki saya. Saya kembali fokus ke gubernur. “Jadi tolong Pak Gub, beri kami akses ke sumber informasi di dinas-dinas.
Jangan sampai kalau kadis-kadis selalu pasang palang pintu kepada kami, nanti naluri kami sebagai jurnalis merasa tertantang untuk membongkar itu. Kalau sudah begitu nanti pers dianggap tidak kooperatif dengan pemerintah. Oleh karena itu Pak Gub….,” ucapan saya berhenti di tengah jalan, saat saya lihat Gubernur Mirza mengangkat kedua jempolnya, ketika sekilas saya menyapukan pandangan ke arah wajahnya.
UPS! itu sebentuk isyarat, pikir saya. “Kiranya gubernur sudah bisa menangkap inti curhatan saya,” gumam saya. Tapi, jangan-jangan sebaliknya. Bukan lagi hanya Juniardi dan Dolop yang sudah bete pada saya. Boleh jadi Gubernur Mirza juga sudah tertular. Alarm tanda bahaya berbunyi! kalau memang benar gubernur sudah ikutan bete, repot urusannya.
Dolop dan Juniardi bisa kelar dengan diajak ngopi bareng. Tapi kalau gubernur yang sudah jutek, jelas kagak mungkin sudi diajak kongkow bareng sambil nyeruput kopi.
Tanpa pikir panjang, saya langsung kicep! “Ya, begitu Pak Gub. Terima kasih. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” tutup saya, sambil menyerahkan pelantang suara ke Dolop dengan tetap konsisten tidak melihat ke arah wajahnya yang pasti sudah jutek paripurna.
Usai session dialog dan hadirin berbuka puasa, saya yang sedang mengunyah kudapan dipanggil Dolop untuk bergabung ke meja di mana Gubernur dan jajaran serta kawan-kawan Pemred Club berkumpul. “Sini gabung Dri, Pak Gub mau ngobrol soal literasi digital,” ucap Dolop setelah saya mendekat.
Dugaan saya bahwa saya dipanggil karena ada hubungan dengan isi ucapan saya tadi tidak terbukti. Di meja itu justru obrolan menggelinding panjang. “Syukur deh, ternyata Gubernur Lampung yang ini tidak ‘kuping tipis’,” batin saya.
Tapi apa lacur. Belum lagi genap 24 jam, saya sudah mendapat kabar, ada pihak lain yang tidak terhubung langsung dengan acara Pemred Club yang malah merasa terusik dengan ucapan saya ke gubernur.
Sayangnya, keberatan mereka tidak disampaikan langsung ke saya. Saya justru memperoleh informasi itu dari kawan-kawan yang menyampaikan ke saya. Saya tidak perlu menyebut nama, tapi yang jelas bukan dari kalangan jurnalis. Melainkan dari unsur birokrat.
Ah, saya tidak ambil pusing dengan reaksi itu. Saya pastikan tidak bersedia dan tidak mau dibungkam dengan cara-cara seperti itu. Lagi pula para jurnalis juga sudah bosan acapkali memperoleh keterangan bohong justru disampaikan oleh pejabat. Tujuannya apalagi kalau bukan menutupi kelemahan kinerja atau hal lain.
Perilaku demikian tak ubahnya “Kebohongan Resmi (karena disampaikan oleh orang yang berkapasitas bagian dari pemerintah) dan Keterangan Palsu (lantaran isinya kebohongan publik).
Terlebih, sesungguhnya apa yang saya sampaikan kepada Gubernur Mirza di acara Pemred Club itu, masih ada kaitannya dengan pertanyaan yang saya sampaikan langsung ke Bung Mirza ketika masih dalam masa kampanye pilgub.
Saat itu Bung Mirza bertemu dengan para jurnalis di sebuah cafe. Saya memperoleh kesempatan untuk berdialog dengan Bung Mirza dan Jihan. Pertanyaan spesifik saya ajukan ke Bung Mirza. Inti pertanyaan saya waktu itu, “Apa yang akan Bung Mirza lakukan untuk meningkatkan profesionalisme jurnalis di Lampung seandainya Bung terpilih menjadi Gubernur”.
Saat itu benang merah yang saya tangkap dari jawaban Bung Mirza adalah akan berkolaborasi dengan jurnalis. Dan, selang beberapa bulan kemudian, hingga di acara Pemred Club itu kiranya dia masih konsisten dengan ucapan di masa kampanye lalu.
Sabtu lalu dia masih bilang, “Tantangan kita bersama hari ini adalah tantangan zaman. Untuk bisa menjawabnya dibutuhkan kolaborasi. Termasuk kolaborasi dengan pers,” ungkap Gubernur Mirza.(*)