Bandarlampung (Netizenku.com): Pedagang kaki lima (PKL) marak di Kota Bandarlampung. Mereka menggunakan trotoar dan bahu jalan untuk menggelar lapak dagangan di pusat perekonomian seperti pasar.
Bahkan lahan parkir kendaraan di pasar tak luput dari incaran pedagang.
Para PKL ini tumbuh secara sporadis tanpa perencanaan sehingga tidak jarang menimbulkan kemacetan dan terlihat semrawut tanpa penataan.
Baca Juga: Pakar Urban Economic dan Dosen Itera Tawarkan Solusi Menata PKL
Pakar Urban Economic dari Center for Urban and Regional Studies (CURS), Erwin Octavianto, menilai Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung tidak siap mengantisipasi pertumbuhan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di kota setempat.
“Lapak pedagang di pasar tradisional semakin lama semakin penuh, tidak tertata dengan baik. Coba lihat apa yang sudah mereka (pemkot) antisipasi dengan pertumbuhan UMKM yang ada saat ini? Tidak ada,” kata dia ketika dihubungi, Senin (28/3) malam.
Erwin mengajak pemerintah daerah melalui dinas pasar dan dinas terkait melakukan pengecekan berkala dan tidak pasif menyikapi pertumbuhan UMKM.
“Jadi jangan menunggu, kalau menunggu akibatnya masyarakat sudah banyak yang bertumbuh,” ujar dia.
Erwin Octavianto meminta pemerintah daerah melakukan penataan pasar dan survei kebutuhan pasar di satu wilayah.
Dia mencontohkan Pasar Kemiling, Pasar SMEP, dan Bambu Kuning Square yang sepi dari aktivitas berdagang.
“Mau didesain seperti apapun kalau survei kebutuhannya bukan di situ ya enggak akan laku,” tegas dia.
Para pelaku UMKM ini, lanjut Erwin Octavianto, membutuhkan akses, kenyamanan pelayanan, dan pertumbuhan ekonomi di sebuah daerah.
“Ketiga poin itu yang kemudian memunculkan inisiasi masyarakat untuk membuat sebuah pasar,” kata dia.
Data Dinas Perdagangan Kota Bandarlampung Tahun 2020 menyebutkan di tahun 2019 terdapat 34 pasar tradisional dan 22 pasar modern.
Pasar tersebut dikelola oleh Dinas Perdagangan dan PD Pasar Tapis Berseri. Namun keberadaan pasar-pasar tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah daerah.
“Padahal kalau ditata dengan baik bisa menjadi sumber PAD karena ada retribusi di situ. Parkir dikelola dengan baik, gedung penuh full book, sewa kios,” ujar dia.
Pemerintah daerah diminta melakukan penataan, baik di dalam maupun lingkungan pasar, dengan menawarkan beragam opsi yang berdampak positif bagi para pedagang.
“Kios yang misalnya memang (letaknya) tidak strategis, bisa diturunkan harga sewanya, jangan disamakan dengan tempat yang strategis. Sehingga masyarakat bisa memilih berdasarkan kemampuannya,” kata dia.
Kemudian, lanjut Erwin, pasar menyediakan kios-kios community di satu tempat yang diisi pedagang-pedagang yang lapaknya beralaskan karpet.
“Daripada di jalan kena razia Satpol PP terus,” ujar dia.
Kota Bandarlampung sebagai ibu kota Provinsi Lampung merupakan pusat perdagangan barang dan jasa. Secara umum, jelas Erwin, masyarakat kota setempat masih membutuhkan keberadaan pasar tradisional.
Hal ini terlihat dari aktivitas pasar tradisional yang ramai dan masih diminati oleh masyarakat. Sehingga perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah masih menggeliat.
“Pusat kota jumlah pertumbuhannya semakin meningkat maka akses kebutuhan barang dagangan semakin meningkat juga,” ujar dia.
Keterbatasan lahan di perkotaan memunculkan pasar kaget yang tanpa perencanaan, pengaturan, dan pengembangan oleh pemerintah.
“Ada banyak di daerah Rajabasa, (pasar kaget) itu di tengah-tengah permukiman,” kata dia.
Tidak hanya pasar kaget, lanjut Erwin, pun kafe-kafe saat ini banyak bermunculan di tengah permukiman warga.
“Tiba-tiba muncul kafe yang kanan kirinya rumah warga adalah bentuk ketidaksiapan pemerintah dalam hal mengembangkan atau menata sebuah kegiatan perekonomian,” jelas dia.
Erwin menyampaikan persoalan terkait penataan pasar dan UMKM tidak hanya terjadi di Kota Bandarlampung tapi seluruh daerah di Indonesia.
“Kalau kita melihat, belum ada pasar tradisional yang memang benar-benar tertata dengan baik. Pertanyaan dasarnya, kenapa tidak bisa tertata dengan baik?”
Dia menilai hal itu disebabkan ketidaktegasan pemerintah daerah dalam menjalankan rencana tata ruang wilayah perkotaan.
“Cenderung dilepas, yang penting dikasih setoran oleh pedagang. Alhasil fasilitas yang sudah disiapkan oleh pemerintah daerah tidak termanfaatkan secara maksimal,” tutup dia.
Diskominfo Bandarlampung merilis Data Statistik Kota Bandarlampung Tahun 2021 yang menyebutkan terdapat 37.979 Usaha Mikro, 15.580 Usaha Kecil, dan 5.186 Usaha Menengah.
Baca Juga: UMKM di Bandarlampung Terkendala Perizinan, Permodalan, dan Lokasi Usaha
Para pelaku UMKM ini tersebar di 20 kecamatan se-Bandarlampung.
Usaha Mikro terbanyak berada di Tanjungkarang Pusat yaitu 3.167 unit usaha mikro. Sedangkan yang paling sedikit ada di Telukbetung Timur sebanyak 1.405 unit usaha.
Usaha Kecil terbanyak terdapat di Enggal sebanyak 945 unit usaha, paling sedikit di Telukbetung Utara sebanyak 636 unit usaha.
Usaha Menengah terbanyak terdapat di Tanjungkarang Pusat sebanyak 342 unit usaha, paling sedikit di Telukbetung Barat sebanyak 220 unit usaha. (Josua)