Kawasan Hutan Konservasi seluas 462.030 hektare mencakup Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas, Cagar Alam dan Cagar Alam Laut Krakatau, dan Tahura Wan Abdul Rachman. Kerusakan tutupan lahan di kawasan tersebut seluas 75.072 hektare atau 16,24%.
Kemudian kawasan Hutan Lindung seluas 317.615 hektare dengan kerusakan tutupan lahan seluas 127.259 hektare atau 40,07%.
Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Tetap seluas 225.090 dengan kerusakan tutupan lahan seluas 173.597 hektare atau 77,12%.
Faktor-faktor penyebab kerusakan hutan di Lampung antara lain penebangan liar dan pengkavelingan kawasan hutan yang tidak terkendali.
Laju kerusakan hutan di Lampung sudah berlangsung 20 tahun lebih mulai dari ekspansi Hak Penguasaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pemanfaan Hasil Hutan pada Hutan Tanaman Industri (IUPHH-HTI), lahan perkebunan masyarakat di dalam kawasan dan aktifitas open akses di dalam kawasan hutan yang menjadi desa definitif.
Kehadiran masyarakat di dalam kawasan hutan bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti hilangnya akses masyarakat atas kelola Sumber Daya Alam di luar kawasan hutan yang timbul dari perampasan lahan mereka oleh korporasi.
Rusak atau hilangnya hutan mangrove juga sangat berpengaruh terhadap iklim dan cadangan karbon.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hutan mangrove di Indonesia rata-rata mampu menyerap 52,85 ton CO2/ha/tahun yang lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan estimasi global (26,42 ton CO2/ha/tahun).
Secara keseluruhan, hutan mangrove Indonesia memiliki potensi penyerapan karbon sebesar 170,18 Mt CO2/tahun.
Pulau Kalimantan memiliki potensi serapan mangrove terbesar, yaitu 94,32 ton CO2/ha/tahun diikuti oleh Papua (57,99 ton CO2/ha/tahun) dan Sulawesi (53,95 ton CO2/ha/tahun).
Sementara itu, mangrove di Pulau Sumatera dan Jawa yang telah banyak terdegradasi menunjukan potensi serapan karbon yang paling rendah, yaitu berturut-turut 37,07 dan 39,27 ton CO2/ha/tahun. (Josua)