“Yo Ndak Tahu, Kok Tanya Saya”

Hendri Setiadi

Kamis, 22 Agustus 2024 - 11:34 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(Ilustrasi ist)

(Ilustrasi ist)

Penyabar itu hakikatnya baik. Eh, tapi tergantung juga. Sabarnya itu sabar dalam hal apa. Sebab ada juga orang yang super sabar untuk menunggu waktu yang tepat, sebelum akhirnya menebar mungkar ke segala penjuru mata angin. Cilaka!

(Netizenku Network): TERKADANG pikiran ini terlalu sayang untuk dikotori dengan memikirkan politik dan urusan tetek bengek negeri ini. Benar, politik itu panggung sandiwara yang sesungguhnya. Setuju, tak ada makan siang gratis di meja politik. Dan sepakat, tak ada kawan abadi di politik, selain kepentingan.

Bagi orang awam politik seperti saya, dogma-dogma serupa itu tak jarang membikin alergi terhadap politik. Mungkin karena pendekatan atau cara pandang saya masih melibatkan perasaan. Sedangkan politik cenderung meminggirkan campur tangan hati. Biarlah logika tak-tis dan manuver strategis yang menjadi panglimanya.

Pada akhirnya saya dan mungkin banyak orang lainnya terpaksa kompromi dengan skenario macam itu. Sebab, apa boleh buat, fatsun serupa itu sudah menjadi lazim bagi kalangan makhluk politik yang sialnya mereka beredar di sekitar kita dan ikut campur mengurusi bangsa dan negara ini.

Baca Juga  Anak Muda Lampung dan Umar Ahmad

Tapi sesabar-sabar kita, lebih tepatnya saya, menyaksikan sirkus-sirkus politik unfaedah itu, tetap saja terkejut saat menyaksikan akrobat politik yang menggelinding hari-hari ini. Saya kok merasa doktrin politik yang dimainkan sekarang sudah bukan lagi sekadar mengutak-atik elemen yang ada di atas meja. Tapi sudah menjungkir-balikkan meja demokrasi yang sebelumnya sudah susah payah ditata. Sialnya, mayoritas makhluk politik mengamini cara-cara demikian. Manut, tunduk patuh pada si penulis skenario.

Meski sebelumnya malas membahas politik yang isinya melulu dagelan itu, akhirnya pertahanan ini jebol juga. Bertemu teman-teman di salah satu sudut Kabupaten Tulangbawang Barat, di teras rumah sejuk nan asri, saya terlibat obrolan politik yang menggelitik.

Pembahasan obrolan mengerucut pada sosok penulis skenario pemicu kegaduhan politik. Seorang kawan menyebut si penulis skenario terkategori cerdas. Saya menimpali “sekaligus licik”. Lalu teman lainnya menambahi dengan istilah-istilah Jawa yang bila diartikan secara bebas; mengalah, menghindar, lalu akhirnya menggebuk.

Baca Juga  Bung Mirza, Dengar Sebelum Teken

Semua penilaian tersebut berkelindan menjadi satu kata: Penyabar. Ya, hanya orang penyabar yang memiliki kemampuan sekali menggebuk akan ada banyak “lalat” gelimpang berjatuhan. Cuma sosok penyabar yang mau mengajak ngobrol musuh bebuyutannya sekalipun di atas meja makan.

Di saat perut terisi kenyang, musuh bisa luluh, lalu menganggap tuan rumah yang telah menghidangkan jamuan sebagai orang tulus nan ikhlas. Bagaimana tidak, sudah jelas diajak berseberangan, tapi malah ngajak  makan bareng. Ini orang baik, begitu mungkin pemikiran para musuh-musuh politik si penulis skenario, yang tanpa disadari sudah bertekuk lutut. Lalu senyum simpul terkembang di wajah  lugu milik si penulis skenario, seraya bergumam, “Kartumu sudah kukantongi.”

Pola asuh serupa ini yang diulang-ulang kepada banyak pihak. Sebanyak itu pula kartu-kartu truf berhasil dihimpun si penjamu hidangan. Bermodal sabar kawan dan lawan dirangkum. Tanpa lupa memberi buah tangan posisi jabatan di sana-sini. Sebagai gantinya mereka mesti meletakkan kartu-kartu truf yang semula menjadi rahasi belakangan tak ubahnya seperti buku terbuka bagi si penulis skenario.

Baca Juga  Balada Gelar Doctor Honoris Causa di Desa Konoha

Hingga saatnya dirasa tepat, si penulis skenario membuka kartu-kartu truf dari sakunya yang menggelembung berisi banyak informasi.

Sekelebat terlintas dalam benak saya gaya seorang pembunuh bayaran yang mampu membeset urat nadi di leher targetnya hanya dengan selembar kartu remi. Lalu bayangkan bila ada segepok kartu di dalam saku. Jelas akan ada banyak korban yang mati tragis diiris kartu. Opsi yang tersisa, tiada lain menyerah. Menjadi penurut, persis kerbau dicocok hidungnya.

Obrolan kami pun berakhir. Tanpa dikomandoi sepertinya kami sama-sama tercenung. Penembak jitu berbekal kesabaran tingkat tinggi. Pembunuh bayaran punya koleksi kesabaran yang berlimpah ruah. Tapi di balik kesenyapan berlama-lama itu, saat waktunya tiba, orang-orang semacam ini bisa mematikan dengan wajah tetap terlihat dingin, nyaris tanpa ekspresi. Dan kalau ditanya, siapa yang berbuat? dengan datar si penulis skenario berujar, “Yo ndak tahu, kok tanya saya”. (*)

Berita Terkait

Pengkhianat yang Berkhianat
Bung Mirza, Diajak Ngopi Sama Petani
Menakar Bung Mirza dari Angka 100
Bung Mirza, Dengar Sebelum Teken
Prabowo = Arinal?
Arinal Menolak Jadi Raja Tega
Arinal-Sutono is Back
Arinal Memang “Bejo”?

Berita Terkait

Sabtu, 21 Desember 2024 - 15:07 WIB

Pembangunan Masjid Al Hijrah Kotabaru Siap Dilanjutkan

Jumat, 13 Desember 2024 - 19:48 WIB

Pj. Gubernur Lampung Buka Kompetisi Drone Wonderful Lampung 2024

Minggu, 8 Desember 2024 - 16:53 WIB

Komunitas TurunTangan Lampung Selenggarakan Program Kaleidoskop Dunia

Kamis, 28 November 2024 - 14:23 WIB

Telkomsel Perluas Jangkauan Jaringan 4G/LTE di Pulau Legundi dengan Teknologi Rural Star

Sabtu, 28 September 2024 - 20:07 WIB

PT ASDP Indonesia Ferry Bakauheni Bantu Bangun MI Al-Ikhlas Pasca Terbakar

Jumat, 27 September 2024 - 19:06 WIB

Calon Bupati Petahana Lamsel, Kampanye di Desa Maja Kalianda

Kamis, 26 September 2024 - 14:40 WIB

Winarni, Perempuan Tangguh Inspiratif dari Desa Waygalih

Kamis, 26 September 2024 - 14:36 WIB

Nanang Ermanto: Tidak Mau Janji Muluk Tapi Utamakan Kesejahteraan Rakyat

Berita Terbaru

Foto: Istimewa

Lampung Selatan

Pembangunan Masjid Al Hijrah Kotabaru Siap Dilanjutkan

Sabtu, 21 Des 2024 - 15:07 WIB