Sulit ditampik perubahan wajah Tulangbawang Barat (Tubaba) tanpa menyebut peran besar Umar Ahmad.
Tak pelak perubahan signifikan kabupaten muda di bawah kepemimpinan sosok muda itu, mengundang decak kagum. Tak sedikit pula yang menganggap seperti sedang menyaksikan sulap. Dalam sekejap Tubaba bersalin rupa. Ibarat besi muda mengejawantah magnet. Mendadak punya daya tarik.
Benarkah ini sulap? Entah ‘elmu’ abrakadabra apa yang dipakai Umar Ahmad. Yang bagi sebagian orang mungkin masih menganggapnya ‘anak ingusan’, tapi kok sudah mampu membuat lompatan besar. Permainan ‘silap mata’ macam apa pula ini. Mungkinkah ada kesamaan dengan kisah Harry Potter cerita besutan penulis Inggris J. K. Rowling?
Ternyata benar adanya. Umar Ahmad memang menggenggam sebait rapalan. Selarik mantra yang menjadi modal awalnya mengarsiteki Tubaba. Jampi-jampi itu berjuluk “sadar diri”.
Ya, kesadaran diri. Umar Ahmad sangat sadar potensi terbatas yang melingkupi Tubaba. Sejak awal memimpin dia sudah tanamkan prinsip itu. Dia malah menyebut Tubaba sebagai kabupaten yang “bukan-bukan”.
Bukan sebagai daerah perlintasan. Bukan daerah tujuan, lantaran tidak punya potensi wisata berupa gunung maupun pantai yang digandrungi pelancong.
Bukan pula daerah yang menyimpan kawasan tambang yang mampu menerbitkan naluri bisnis para investor. Jadi lengkaplah sudah ketiadaan itu. Tak berlebihan pula bila disematkan predikat “kabupaten bukan-bukan”.
Berbekal kesadaran mantra sadar diri tadi, terpantik niatan untuk merombak yang bukan-bukan itu menjadikan Tubaba yang “bukan main”. “Kesadaran ini yang mendorong kami untuk berpikir kami harus punya apa-apa,” kata Umar pada beberapa kesempatan.
Caranya? Tidak lantas serta merta mengerahkan alat berat buat menggarap proyek ini-itu. Umar Ahmad malah mengawalinya dengan ‘berkontemplasi’. Merenung.
Sampai menemukan formulasi jawaban. Pembangunan yang akan dilakukan mesti memiliki nilai. Nilai itu yang nantinya melandasi semua upaya pembangunan orang dan ruang di Tubaba. “Kami juga percaya bahwa pendidikan adalah jawaban dari proses perjalanan menuju ‘pulang ke masa depan’,” ungkapnya hakul yakin.
Prinsip ini kembali dikemukakannya saat menjadi pemateri pada seminar yang dihelat himpunan mahasiswa Fisip Unila bertajuk Menatap Pembangunan Lampung ke Depan (Selasa, 22 Agustus 2023).
Umar bilang, dia mengawali gerak pembangunan di Tubaba dengan melakukan injeksi nilai lokal yang diadopsi berdasarkan kehidupan dan perjuangan para petani. Nilai yang bisa dipetik adalah nilai Nemen (kerja keras), Nedes (Tahan banting, sabar) dan Nerimo (tawakal, Ikhlas menerima ketentuan yang diberikan Allah SWT). Untaian nilai-nilai itu lalu diikat menjadi Nenemo.
Umar juga mengakui berguru dari masa lalu. Berbagai nilai bermuatan filosofis di waktu lampau dijadikannya rujukan. Semacam mercusuar. Pemandu arah langkah. Bahkan filosofi-filosofi di masa lampau itu dijadikan sebagai narasi dalam membangun Tubaba. Sebab Umar meyakini nilai filosofi masyarakat akan mampu menggugah sumberdaya manusia.
Prinsip itu benar-benar diimplementasikan di setiap denyut pembangunan di Tubaba. Hingga ke ranah pembangunan infrastruktur sekalipun, senantiasa diselaraskan dengan nilai menjaga kelestarian alam. Tak perlu heran kalau melihat wajah Tubaba hari ini tetap harmonis bersanding dengan alam. Tanpa merudapaksa martabat lingkungan.
Beranjak dari pengalaman itu Umar berkeyakinan, formulasi serupa kiranya bisa diterapkan pada pembangunan Lampung ke depan. Sudah barang tentu perlu penyesuaian di sana-sini. Tapi kelangsungan pembangunan itu, mesti tetap menapak pada nilai sosial budaya setempat. Agar tetap mengakar. Tidak tercerabut dari nilai asal.
Umar Ahmad memang bukan Harry Potter yang sedang merapalkan ajimat, kalau pun ada mantra yang digumamkan bunyinya bukan abrakadabra tapi suara kesadaran diri! (Hendri Std)