Bandarlampung (Netizenku.com): Bisa dibilang budaya pop Korea sudah merangsek sedemikian rupa ke segala penjuru Nusantara. Anak muda atau emak-emak di pelosok desa sekalipun, setidaknya pernah mendengar istilah atau malah sudah menikmati salah satu varian K-Brand. Baik itu hasil produk industri kreatif di ranah K-Drama, K-Pop hingga K-Beauty. Kok, Korea bisa sesukses itu mengekspor budaya pop-nya?
Tak perlu heran. Kebangkitan Korea Selatan (Korsel), usai melewati masa kelam akibat kolonialisme dan perang Korea, tak lepas dari kecerdikan “tingkat dewa” pemerintahnya. Menurut penulis, setidaknya ada tiga pembeda utama yang dimiliki Korea tapi tak dipunyai kita. Korea jeli melihat potensi, peka mengendus peluang dan bernyali melakukan terobosan secara serius.
Berbekal tekad itu pemerintah Korsel mendorong kreator-kreator di Negeri Ginseng untuk berkreasi. Tak tanggung-tanggung. Mereka memancang target membidik selera global. Rumusannya simpel. Nilai budaya dikemas sedemikian nge-pop. Agar bisa diterima masyarakat dunia.
Racikan ciamik “gelombang Korea” tersebut terbukti berhasil menawan perhatian global. Bahkan tak hanya sekadar tertarik. Tapi sampai keranjingan. Malah tak sedikit warga dunia yang rela dilabeli sebagai para penggila gelombang Korea yang disebut Hallyu. Komunitas ini terus menggelembung. Jumlahnya hingga ratusan juta. Tak ayal gelombang devisa ini menjadi salah satu faktor utama pengungkit perekonomian Korsel. Hingga membawa mereka menjadi negara tajir di percaturan dunia.
Jika ditelusuri, akhir tahun 1990-an menjadi titik awal masyarakat dunia mengenal drama dan film asal Korsel melalui televisi. Tayangan drama seri Winter Sonata pada tahun 2003 yang merupakan seri kedua dari drama Endless Love itu, bisa dikatakan sebagai penanda keberhasilan drama seri Korsel.
Sedangkan di kancah musik, melesatnya industri K-POP ditandai oleh kemunculan Gangnam Style. Penyanyinya seorang rapper berjuluk Opa Psy. Dia santer disebut sebagai salah satu tonggak melesatnya popularitas industri musik dari negeri yang pernah dijajah Jepang tersebut. Lagu yang dirilis pada tahun 2012 dengan sajian tarian unik dan enerjik itu, hingga tulisan ini dibuat, telah ditonton 5 miliar lebih penikmat di platform Youtube.
Jalan mulus penetrasi di jalur ekspor industri kreatif ini tidak membuat Korsel lekas puas. Agresivitas mereka seperti tak berhenti. Kali ini negara yang dipimpin Presiden Yoon Suk Yeol ini menohok melalui karya-karya novel. Setidaknya itu yang dirasakan di Indonesia.
Hari-hari ini ada sederet novel sastra Korsel yang sudah diterjemahkan dan puluhan kali cetak ulang. Itu cerminan besarnya antusiasme pembaca di sini. School Nurse Ahn Eunyoung karya Chung Serang, Vegetarian karya Han Kang, Please Look After Mom tulisan Shin Kyung-sook, lalu ada juga sastra populer Cursed Bunny karya Bora Chung, merupakan sekelumit karya mereka yang sudah merangsek dan merasuki banyak pembaca kita.
Merebaknya buku-buku Korsel ini beriringan dengan tumbuhnya berbagai komunitas pembaca setianya. Sebut saja salah satunya yang paling aktif berkegiatan yakni Literature Translation Institute of Korea. Maka tak perlu heran bila sebentar lagi rak-rak di toko buku akan dibanjiri buku-buku fiksi dan nonfiksi bernuansa Korsel.
Dan kita, anak bangsa Indonesia, lagi-lagi gegap gempita menikmati hipnotis budaya pop Korsel. Sambil terus menerus menunggu karya-karya lainnya. Seakan kita begitu dahaga. Sampai kita semua lupa untuk berkarya, atau malah gamang karena minder. Lantaran telah kehilangan rasa percaya diri mencipta akibat terlalu mengagungkan karya bangsa lain. Kiranya kita memang patut menuntut ilmu hingga ke Negeri Gingseng. (*)