Bandarlampung (Netizenku.com): Bicara politik Indonesia hari ini tidak bisa terlepas dari jejak Jokowi. Apa pun aspek politik yang dibicarakan hampir dapat dipastikan akan menyenggol namanya. Sosok yang sebelumnya dikenal berkarakter polos kiranya arsitek politik nan ulung. Kalau anak sekarang bilang dikira cupu ternyata suhu.
Manuver Jokowi diakui memang sulit diterka. Tak pelak beberapa pengamat menganalogikannya seperti tabiat emak-emak naik motor metic yang demen mengecoh; kasih sen kiri, malah belok kanan. Lho, lho, lho…nggak bahaya, tah?!
Bak jejaring laba-laba. Jejak Jokowi menjalar kemana-mana. Di ranah partai politik, Jokowi punya banyak pendukung. Partai-partai yang terhimpun dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) adalah sekutunya. Saking kentalnya pengaruh Jokowi di sana, dirinya dapat dengan mudah menitipkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo.
Masih di ranah parpol, putra bungsunya -Kaesang Pangarep- belum lama ini didapuk menakhodai sebuah partai. Kalau berbagai upaya Jokowi itu terbukti mujarab memuluskan jalan anak-anaknya sampai ke tujuan akhir, hampir bisa dipastikan, kelak akan ada anak-anaknya di pusaran inti eksekutif dan legislatif negeri ini.
Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya, Jokowi pernah bilang kalau anak-anaknya tidak berminat ikut-ikutan mencicipi kancah politik. Tapi, sen kiri malah belok kanan. Fakta yang terjadi justru sebaliknya. Cerita idem dito juga berlaku ketika Jokowi mengucapkan “cawe-cawe” yang akhirnya populer.
Selain anak-anaknya, Jokowi juga punya adik ipar -Anwar Usman- yang tiada lain mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Sesungguhnya Anwar akan tetap sebagai ketua MK seandainya tidak menggelinding perkara “Paman Gibran” yang sempat membikin gaduh.
Entah mengapa saat istilah Paman Gibran mencuat, benak penulis langsung teringat sosok Paman Gober. Dia adalah tokoh paman dari karakter Donal Bebek, muncul pertama kali pada Desember 1947. Kisah tersebut ditulis dan digambar oleh Carl Barks. Gober adalah bebek tua yang kaya, berjanggut, berkacamata, dan tinggal di sebuah rumah mentereng.
Tak sampai berhenti di situ. Jokowi juga masih memiliki jejaring dari lingkungan keluarga. Namanya Bobby Nasution yang tiada lain menantunya. Bobby yang Walikota Medan juga bernasib setali tiga uang dengan Anwar Usman. Sama-sama dirundung pemecatan. Dia dipecat sebagai kader partai PDI Perjuangan.
Entah kebetulan atau kebetulan yang “disengaja” semua manuver tiki-taka itu berlangsung beriringan. Tak heran kalau pemberitaan tentang Jokowi serta anak-anak dan sanak familinya menyedot perhatian media dan menjadi bancakan publik.
Seakan snow ball yang menggelinding dan terus membesar, pembicaraan tentang Jokowi dan keluarganya terus saja bergulir. Termasuk peristiwa sungkemnya Kaesang dan merunduknya badan Gibran di hadapan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, sesaat sebelum pengundian nomor urut capres-cawapres 2024 di KPU.
Ada yang menyatakan salud terhadap perilaku santun kakak beradik itu. Tapi tak sedikit pula yang bilang, “Kalau santun mestinya tak lupa kacang akan kulitnya”. Tak pelak sahut-sahutan di kalangan pro-kontra kembali merebak.
Sahut-sahutan yang tak kalah riuh juga berlangsung selang tiga hari sebelumnya. Sabtu, 11 November itu, wajah langit Kota Solo yang semula cerah mendadak mendung. Bicara soal mendung, penulis juga teringat simbolisasi baju warna hitam yang belakangan kerap dikenakan kader partai berlambang Banteng Moncong Putih. Mereka menyebut warna hitam sebagai ekspresi atas situasi demokrasi di republik ini yang sedang mendung menyambut kelahiran kembali nepotisme.
Cerahnya Solo mendadak bersalin rupa ketika itu. Langit beralih gelap. Hujan lebat sontak membekap. Angin kencang, entah bertiup dari mana, kontan menyergap. Suaranya berkesiut mengiris nyali warga. Badai menderu-deru. Menerjang. Melabrak sesuka hati. Saking kencangnya, patung-patung tokoh pewayangan yang berjajar di Balai Kota Solo, tanpa ampun dibuat roboh. Tumbang merana.
Dalam sebuah podcast, budayawan Butet Kartaredjasa menyoroti robohnya patung-patung yang berada persis di depan kantor Gibran itu. Menurutnya, patung-patung yang roboh adalah patung tokoh Pandawa Lima; Puntadewa, Bima, Nakula dan Sadewa. Keadaan patung-patung itu sangat memprihatinkan. Tergolek dengan leher patah. Bahkan kepalanya terpisah dari badan. Miris!
Butet juga menyoroti masih adanya patung-patung lain yang tetap elok berdiri meski sama-sama disapu badai. Patung-patung itu merupakan tokoh Punakawan; Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
Penyebutan Punakawan berasal dari kata “pana” yang memiliki arti cerdik, jelas, terang, dan cermat dalam pengamatan. Sedangkan kata “kawan” memiliki arti teman atau sahabat. Punakawan di sini berarti teman atau sahabat (pamong) yang sangat cerdik, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan yang luas, memiliki pengamatan yang tajam dan cermat. Dalam budaya Jawa biasa dimaknai sebagai sikap peka dan peduli terhadap berbagai permasalahan.
Butet memang tidak membahas lebih lanjut makna di balik uraiannya. Mungkin saja dia ingin mengatakan, boleh jadi ini merupakan tondo-tondo, pertanda. Entah isyarat apa. (Hendri Std)