Kaum papa sepertinya memang ditakdirkan untuk teraniaya atau dianiaya. Senantiasa jadi langganan buat dipinggirkan. Itu bisa terjadi lantaran mereka tidak punya power yang mesti diperhitungkan. Tak heran bila kemudian dijadikan sasaran empuk untuk dikorbankan.
Mau contoh? mari kita buka mata. Coba tengok aktivitas dinas-dinas di Kabupaten Lampung Barat. Saat ini banyak satker yang sudah bergiat melakukan berbagai kegiatan. Termasuk melangsungkan Bimtek atau bimbingan teknis dengan melakukan perjalanan ke luar daerah. Ada juga satker rajin menggelar kegiatan yang cenderung bernuansa seremonial.
Sementara di sisi lain ada sekumpulan “wong cilik” sedang termangu menangung prihatin, sebab sudah tiga bulan tidak menerima honor. Mereka ini para petugas kebersihan. Bekerja sejak subuh. Bahkan, mungkin juga mereka kerap berlomba bangun lebih awal ketimbang kokok ayam jago di pagi hari. Mereka juga bekerja riil, tidak ongkang-ongkang kaki di jam kerja. Tugasnya berat dan bergulat membersihkan yang kotor-kotor yang tidak banyak orang berkenan melakukannya.
Namun nyatanya, gaji mereka yang “tidak seberapa” itu masih juga ditunda-tunda, tidak diprioritaskan. Tak pelak, hidup para petugas kebersihan yang sudah susah itu kian susah dibuatnya.
“Kayaknya empati kita memang sudah pada jungkir balik, sampai tak punya lagi kepekaan,” ujar seorang teman ngobrol.
“Kok, niku bisa ngomong gitu, Tek?” tanya saya.
“Lha, itu berita di Netizenku.com, kan mengabarkan kesusahan para petugas kebersihan itu. Gaji tiga bulan belum dibayarkan. Padahal, itu merupakan penghasilan utama buat keluarga mereka,” sergah kawan itu lagi.
“Iya sih. Di situ memang letak keanehannya, Tek. Tapi alasan gaji petugas kebersihan belum dibayarkan katanya karena anggarannya belum turun dari pusat,” jawab saya.
“Pusat mana, Kawan? honor petugas Sokli itu kan dianggarkan dalam APBD. Okelah kita ikuti cara dalih para petinggi birokrat itu. Tapi kenapa bimtek atau kegiatan seremonial lainnya yang juga pendanaannya bersumber dari APBD sudah bisa dijalankan. Sedangkan yang menyangkut perut keluarga orang kecil malah seperti disepelekan,” tukas si kawan.
Saya termangu mendengar ucapan itu, karena memang sulit buat disanggah. “Kalau begitu, sangat betul kesimpulan niku ini, Tek. Sepertinya memang ada yang salah dalam pengelolaan di Kabupaten Lampung Barat ini,” saya mengamini. (Iwan Setiawan)