Mari sejenak, ya sebentar saja, kita mematut diri di cermin agar bisa melihat -sekaligus menyadari- betapa ada kekusaman yang membekas di wajah literasi kita yang berada di Lampung.
Sesuram apa kiranya wajah literasi di Lampung? sampai mesti menyempatkan diri untuk introspeksi. Sebelum beranjak lebih lanjut, ada baiknya kita sepakati terlebih dahulu apa yang dimaksud literasi.
Sesungguhnya ada banyak definisi yang bisa dipahami dari kata literasi. Dalam bahasa latin, istilah literasi atau literatus dimaknai sebagai orang yang belajar.
Sedangkan National Institute for Literacy menjelaskan yang dimaksud dengan literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.
Atau bisa juga kita menelisik makna literasi yang dianut UNESCO. Menurut lembaga internasional yang berada di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) ini literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya.
Sekarang, setidaknya kita sudah memiliki kesamaan sudut pandang mengenai makna literasi. Lantas mengapa dipakai analogi ‘suram’ pada tema kali ini. Bukankah sesuatu yang suram atau kesuraman konotasinya cenderung terkesan negatif?
Agar tidak memunculkan multitafsir yang bisa berkembang menjadi berbagai spekulasi yang justru berpotensi kontraproduktif dengan tema yang sedang dibicarakan, ada baiknya kita topang ulasan ini dengan menggunakan data riset yang sudah barang tentu tingkat akurasinya lebih bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Mari kita telaah penelitian Indeks Literasi Nasional yang dihelat Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Riset ini merupakan upaya untuk memetakan tingkat aktivitas literasi pada seluruh provinsi di Indonesia. Apa hasilnya?
Ternyata, berdasarkan riset tahun 2022, angka Indek Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Provinsi Lampung berada pada kisaran 59,99. Apa pula itu artinya? Agar tidak njelimet alias bikin mumet, kita sederhanakan saja penjelasannya bahwa angka itu berada di bawah IPLM rata-rata secara nasional yang terpatri di angka 64,48.
Kenyataan IPLM Lampung berada di bawah peringkat rata-rata secara nasional saja sudah membikin prihatin. Itu kalau pemerintahan dan masyarakat di tataran provinsi serta kabupaten/kota memiliki sedikit saja kepekaan tentang kondisi literasi di Lampung alias memang memiliki kepedulian perihal itu. Namun apa iya sudah terbangun kesadaran akan konteks tersebut?
Kenapa juga selalu pertanyaan yang disodorkan, terkesan terselip adanya kecurigaan atau malah kesan pesimistis mendalam. Benar ada ungkapan mulia yang bilang hidup mesti dilihat dari sudut pandang optimistis. Itu tentu penulis sepakat. Hanya saja optimisme hendaknya jangan hanya berhenti sebatas tekad tanpa dibarengi ikhtiar.
Ikhtiar pun hendaknya masih dilengkapi dengan catatan tambahan bahwa upaya yang diimplementasikan harus benar-benar dilakukan secara serius. Sebaliknya, jangan malah hanya terjebak pada situasi ‘seolah-olah’ saja alias seremonial belaka. Di sini akar persoalannya.
Mengapa lagi-lagi terselip semacam kecurigaan ada upaya ‘kurang’ serius atau bahkan ‘tidak’ serius terhadap penanganan IPLM? Sebab, ternyata angka 59,99 pada IPLM Lampung tahun 2022 itu melorot dari tingkat pencapaian tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2021 IPLM Lampung berada pada angka penilaian 60,90.
Hayo, apakah pelabelan penanganan ‘tidak serius’ (untuk tidak menyebut gagal) masih dianggap terlalu ekstrim? Rasanya memang premis itu yang paling tepat untuk menggambarkan cikal bakal yang membuat wajah literasi di Lampung tampak suram; ketidakseriusan!
Bukti ketidakseriusan itu makin diperkuat dengan kenyataan bahwa pemerintahan di Lampung (pemprov, kabupaten/kota) ternyata sudah melakukan poin-poin yang digariskan Kemendikbud atau Perpusnas. Sebagai sejumput contoh, misalnya, Lampung rutin menggelar festival dan jambore literasi.
Dengan dilangsungkannya acara tersebut seakan ingin mengirim sinyal bahwa Lampung aktif menumbuhkembangkan aktivitas literasi. Bunda Literasi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, secara kasat mata juga sudah menjalankan berbagai agenda literasi.
Terlebih ada asumsi bila suatu daerah dapat menghelat kedua agenda kegiatan tersebut, besar kemungkinan agenda-agenda literasi lainnya sudah dilaksanakan pula. Lantas mengapa IPLM di Lampung dari waktu ke waktu malah menunjukkan tren berbanding terbalik dengan ‘keriuhan’ kegiatan literasi yang telah dilaksanakan?
Besar dugaan lantaran proses pelaksanaan membangun dunia literasi di Lampung dijalankan setengah hati oleh para pelaksana pada stakeholder pemerintahan.
Budaya seremonial masih sangat kental. Apatah lagi mengharapkan akan muncul berbagai terobosan untuk dapat menggeliatkan dunia literasi di Lampung.
Orientasi yang dipakai tidak lebih sekadar menggugurkan tanggung jawab semata, untuk kemudian panik sesaat manakala mendapati penilaian pusat bahwa IPLM Lampung hanya jalan di tempat atau malah mirip undur-undur yang kerap jalan ke belakang. (Hendri STD)