Mantan polisi atau sipil. Orang tua atau anak muda. Lampung sudah pernah mencicipi dipimpin gubernur dari kalangan itu. Lantas stereotip calon pemimpin macam apalagi yang bakal disodorkan ke masyarakat yang sudah nyaris apriori ini?
Lampung pernah punya gubernur berlatar belakang polisi. Namanya Sjachroedin ZP. Dua kali Beliau memimpin. Itu membikin bangga masyarakat Lampung. Bukan semata lantaran ia purnawirawan jenderal bintang tiga. Tidak melulu soal itu. Tapi bisa dibilang lebih kepada Sjachroedin ZP adalah putra daerah.
Setelah sekian lama “diremot” Jakarta yang selalu bernafsu mengirim orang-orangnya untuk mengontrol Lampung dengan mengatasnamakan sentralisasi pemerintahan, kemunculan sosok putra daerah jelas melegakan. Tak ubahnya pengelana di padang pasir menemukan oase. Maka bertahta lah Sjachroedin ZP.
Hari berganti, zaman berubah. Mendadak muncul Muhammad Ridho Ficardo di kancah perpolitikan Lampung. Anak muda yang bagi sebagian orang masih dianggap terlalu belia itu, nyatanya mampu merebut singgasana kepemimpinan setelah menyingkirkan rival-rivalnya yang jauh lebih matang dari aspek usia maupun pengalaman.
Berwajah tampan didampingi istri berparas menawan, Ridho Ficardo cukup memberi nuansa baru bagi masyarakat. Setidaknya warga bisa menikmati pemandangan indah saat bertemu pemimpinnya. Paling tidak bisa melupakan (walau sejenak) peliknya realita hidup yang belum juga banyak berubah. Untungnya masyarakat Lampung penyabar. Bagi mereka mungkin memang baru sebatas ini rezeki yang dititipkan Tuhan lewat pemimpin mereka. Rakyat tetap mensyukuri itu sembari memendam doa semoga situasi segera berubah.
Agaknya doa orang banyak itu diijabah. Suasana perpolitikan di Lampung benar-benar berubah. Tak sepeti Sjachroedin ZP yang memimpin selama dua periode, Ridho Ficardo hanya digenapkan cukup 5 tahun saja bermukim di Mahan Agung. Dia harus segera berkemas mengangkat koper lantaran ada tuan rumah baru yang segera menggantikan posisinya.
Newcomer itu bernama Arinal Djunaidi. Sebenarnya diawal kompetisi pemilihan gubernur, tidak banyak perhatian diberikan kepada dirinya. Mayoritas kalangan sibuk membicarakan sepak terjang Ridho Ficardo dan satu kandidat lain yang dianggap rival terberat petahana. Orang itu adalah Herman HN yang dikenal sebagai walikota paling fenomenal di Bandarlampung.
Tapi nampaknya Tuhan punya rencana tersendiri. Kiranya Arinal Djunaidi tidak perlu perhatian banyak pihak, baginya (mungkin lho) satu pihak saja yang berkenan memperhatikan dan mengurusnya sudah lebih dari cukup memuluskan langkah meraih tahta. Lencana “jengkol” emas pun beralih mampir di saku baju dinasnya. Arinal Djunaidi didapuk menjadi gubernur.
Berbekal 33 janji kerja Lampung Berjaya, Arinal Djunaidi mengarungi bahtera kekuasaan yang ternyata tidak semulus saat dia memenangkan kontestasi pilgub. Batu sandungan justru datang dari alam semesta. Kemunculan virus Covid benar-benar membikin runyam situasi global.
Tapi sebagian kalangan menyebut tidak sedikit pihak yang malah menangguk keuntungan dari refocusing. Dimana mata anggaran banyak direalokasi untuk penanganan Covid. Bersamaan dengan itu pengawasan keuangan sedikit kendor. Momen ini membuka celah bagi oknum bajingan yang bahkan bencana kemanusiaan pun tidak membikin ciut nyalinya untuk tidak merampok duit rakyat. Pada situasi serupa inilah pemerintahan Arinal Djunaidi berlayar.
Sampai kemudian tiktoker Bima Yudho Saputra menggelindingkan bola salju lewat celotehannya. Bimo nyinyirin kondisi ngenes infrastruktur di Lampung. Snowball yang digelindingkannya lekas membesar lantaran disambut antusias khalayak netizen yang “maha benar”. Pemprov Lampung gerah. Tapi cuma sebentar.
Presiden Jokowi terlanjur datang sambil menenteng Rp 800 miliar untuk meredakan kegalauan masyarakat sekaligus hati Gubernur Arinal. Pusat berkenan menomboki biaya perbaikan infrastruktur Lampung. Tak pelak Arinal Djunaidi dapat tersenyum ceria kembali sambil menangkupkan kedua belah tangannya yang kemudian diabadikan netizen menjadi stiker yang sekarang masih kerap kita lihat seliweran di Whatsapp.
Saat esai ini ditulis, masa kepemimpinan Gubernur Arinal Djunaidi tinggal menunggu hitungan hari. Itu berarti publik segera menyambut kontestasi pilgub. Kendati pesta demokrasi baru dihelat 27 November 2024, namun nama-nama bakal calon gubernur sudah marak beredar.
Lantas semenarik apa profil para kandidat atau bakal seperti apa ujung cerita pilgub nanti? Entahlah. Tapi yang jelas alam pikir masyarakat Lampung sendiri yang menjadi penentunya. Mau memilih sosok pemimpin yang sejatinya memang berkarakter pemimpin atau mencoblos sosok pemimpin polesan alias pemimpin jadi-jadian. Silakan. (*)