Bandarlampung (Netizenku.com): Hasil kajian penelitian dan pengembangan (Litbang) KPK RI, berdasarkan fakta di lapangan, calon di pilkada membutuhkan dana minimal sekitar Rp65 miliar.
Sementara Litbang Mendagri menyebutkan pilkada untuk calon wali kota/bupati membutuhkan Rp20 miliar-Rp30 miliar dan calon gubernur antara Rp20 miliar-Rp100 miliar.
Hal itu disampaikan Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK RI, Kumbul Kuswidjanto Sudjadi, dalam webinar seri keempat Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan KPU RI dengan tema Pendidikan Pemilih Dalam Pencegahan Politik Uang pada Pemilu dan Pemilihan, Selasa (5/10).
“Kita tahu pilkada ini mahal. Pertanyaannya, siapa yang membuat pilkada mahal?” Kata dia.
Menurut Kumbul, pilkada mahal disebabkan aktor-aktor pemilu yang tidak berintegritas.
“Kita semua yang membuat mahal. Kalau kita menginginkan pemilu berintegritas, semua komponen di dalamnya haruslah berintegritas, baik penyelenggara, kontestan, dan rakyat pemilih,” tegas dia.
Kumbul menyampaikan KPK memahami adanya kebutuhan dana pemilu yang digunakan untuk media, alat peraga, sosialisasi, honor saksi, transportasi, akomodasi, dan sebagainya.
Dan KPK juga menyadari adanya praktik politik uang, baik uang mahar, gratifikasi, jual beli suara, yang ditujukan untuk pemenangan calon. Termasuk para sponsor dan pendonor calon di pilkada.
“Berdasarkan data yang masuk ke KPK, LHKPN calon ada juga yang bukannya plus, laporan harta kekayaannya justru minus. Nah bagaimana dia bisa mencalonkan?” Ujar dia.
Hal ini menjadi perhatian KPK mengingat ketiga komponen tersebut ada juga yang belum melek hukum dan aturan hukum yang dirasakan kurang efektif, masih banyak tumpang tindih.
Sehingga hal itu mengakibatkan praktik politik uang di pilkada menjadi suatu budaya atau kebiasaan di tengah masyarakat.
Data Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) KPK periode 2004-Juni 2021 menyebutkan sebanyak 155 kepala daerah baik gubernur (22) maupun wali kota/bupati (133) terlibat tipikor.
Kemudian anggota DPR dan DPRD sebanyak 281 orang dan dari sisi pelaku, lebih dari 50 persennya adalah oknum-oknum kader partai politik yang tertangkap oleh KPK karena korupsi setelah menjadi penyelenggara negara atau pejabat.
“Mereka lahir darimana? Dari sistem pemilu kita,” kata Kumbul.
Baca Juga: Apakah Demokrasi Melahirkan Koruptor?
Ketiga komponen utama yang disebutkan Kumbul, harus memiliki kesamaan visi dan misi terkait pemilu berintegritas, baik di tingkat daerah maupun pusat.
“Kalau kita ingin pemilu itu berjalan dengan jujur dan adil, prasyarat utamanya integritas aktor. Jadi kita tidak bisa hanya menyalahkan masyarakat,” ujar dia.
Baca Juga: Puskamsikham: politik uang, yang salah yang menerima
KPK mengharapkan aktor-aktor pemilu ini netral dan berintegritas agar pemilu berjalan demokratis, berkeadilan, dan melindungi hak pilih.
Supaya berintegritas dan pemilu berjalan baik, dibuatlah aturan hukum, kode etik, sistem pemilu, dan lain sebagainya,” kata dia.
Integritas memerlukan iman yang kuat, komitmen, konsisten, tahan godaan, rela atau siap berkorban termasuk dikucilkan, perlunya dukungan orang lain untuk mengingatkan.
Integritas ditanamkan melalui pendidikan nilai- nilai anti korupsi melalui pendidikan formal, jalur non formal seperti melalui bimbingan teknis, pengalaman orang lain.
Kumbul menjelaskan KPK berkepentingan untuk ikut serta mewujudkan pemilu berintegritas bekerja sama dengan KPU, Bawaslu, melakukan bimbingan teknis kepada seluruh aktor-aktor pemilu.
“Karena para calon itu akan menjadi penyelenggara negara,” kata dia.
Di samping itu, lanjut Kumbul, program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan juga sejalan dengan program KPK yaitu Desa Anti Korupsi, dalam hal penindakan politik uang di pemilu.
Politik Uang Indonesia Tiga Besar di Dunia
Ketua KPU RI, Ilham Saputra, dalam sambutan pembukaan acara webinar menyebutkan politik uang di Indonesia berada di peringkat tiga dunia.
“Menurut sebuah riset, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4 hingga 33,1 persen,” kata dia.
Ilham juga menyampaikan hasil penelitian JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) di 2014 yang menyebutkan dua modus operandi praktik politik uang dalam pemilu.
Pertama, modus politik uang dapat dilakukan antara peserta pemilu dan tim sukses dengan pemilih.
“Kemudian yang menjadi catatan khusus adalah yang kedua, peserta pemilu melakukan politik uang dengan penyelenggara pemilu,” ujar dia.
Hal ini kemudian mendorong KPU RI menjalin kerja sama dengan KPK karena KPU bertekad membersihkan tindakan-tindakan korupsi di internal.
“Salah satu kriteria kuatnya demokrasi di sebuah negara adalah penyelenggaraan pemilu yang free and fair election, pemilunya bisa meminimalisir tindakan-tindakan yang melanggar peraturan undang-undang,” kata dia. (Josua)