Bandarlampung (Netizenku.com): Ade, gadis belia yang baru lulus sekolah merasa sedih tidak bisa membantu meringankan beban kedua orang tuanya karena ijazah SMA-nya ditahan pihak sekolah.
Warga Sukarame 2 Tanjungkarang Barat ini baru tamat dari SMA Negeri 11 Bandarlampung, dan berniat melamar pekerjaan ke swalayan. Namun dirinya kesulitan mengajukan lamaran kerja karena belum memegang ijazah asli.
Anak kedua dari 3 bersaudara ini mengaku pihak sekolah berdalih, seluruh kewajiban siswa seperti uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan Sumbangan Pembangunan Sekolah (SPS) harus dilunasi terlebih dahulu bila ingin ijazahnya keluar.
\”Ijazah itu hak siswa, saya membutuhkan ijazah untuk bisa mencari pekerjaan membantu orang tua saya,\” kata Ade saat ditemui di kediamannya, Kamis (27/8).
Sejak 2018 lalu, ayah Ade, Muhizar (50) beralih profesi sebagai driver ojek online setelah di-PHK oleh salah satu perusahaan asuransi swasta. Sementara ibunya hanya bekerja sebagai guru les private.
Kedua orang tua Ade harus menanggung biaya hidup keluarga, termasuk biaya pendidikan kakak sulungnya dan adiknya.
\”Dengan kondisi orang tua saya seperti ini, saya enggak mungkin diam saja kan. Apalagi di masa pandemik seperti ini, sulit mendapatkan pekerjaan, tapi saya sebagai anak harus berikhtiar juga dong,\” ujarnya.
Ade mengaku dia tidak sendirian, pihak SMAN 11 juga menahan ijazah milik teman-temannya.
\”Saya kecewa dengan pihak sekolah yang menahan ijazah saya, begitu juga dengan teman-teman saya yang lain. Mereka enggak bayar dan bahkan keadaan mereka lebih parah daripada saya, dan orang tua mereka juga enggak bisa ngomong, itu yang buat mereka susah.\”
\”Banyak yang bilang kepada saya, \’Ya sudahlah De, biarin, nanti kalau ada duit baru diambil.\’
Ayah Ade, Muhizar menuturkan ketiga anaknya menempuh pendidikan di SMAN 11. Anak sulungnya sudah lulus pada 2018 lalu dan saat ini kuliah di Universitas Lampung lewat jalur SBMPTN beberapa waktu lalu. Sementara anak bungsunya masih duduk di Kelas X.
\”Kemarin anak saya yang ketiga laporan lagi, diminta lagi bayar Rp80.000 untuk atribut seragam, saya pikirnya, pihak pegajar tidak peka dengan kondisi kami sekarang ini,\” kata Muhizar.
Bahkan Ade, lanjut dia, juga dimintain uang untuk mengambil ijazah oleh pihak sekolah.
\”Semua diwajibkan bayar Rp50.000 ini ada surat edarannya via WhatsApp Grup sekolah,\” ujar Muhizar sambil menunjukkan pesan WA di handphonenya.
\”Sebenarnya saya bayar, tapi saya angsur. Saya sudah dua kali ke sana, tapi yang kedua perlakuan pihak sekolah tidak menyenangkan. \’Tidak terimakasih anaknya sudah sekolah di sini\’ dibilang begitu.\”
\”Tapi kan saya punya hak untuk mendidik anak saya dan sudah menjadi kewajiban negara juga mendidik anak saya,\” tegas dia.
Muhizar mengaku telah melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Ombudsman RI Perwakilan Lampung pada Rabu (26/8) lalu. Dia menunjukkan bukti laporan yang telah disampaikan kepada Ombudsman.
\”Saya diterima dengan baik, berkas-berkas saya diminta dan akan mereka pelajari, dan kalau nanti klarifikasi mereka akan coba membantu,\” tutupnya.
Pada hari yang sama, pihak SMAN 11 Bandarlampung saat dikonfirmasi mengatakan tidak berniat menahan ijazah anak didiknya.
\”Asal dia (Muhizar) memohon datang dengan baik-baik ke sekolah, mengaku tidak punya uang, kita berikan ijazah anaknya tanpa harus membayar tunggakan,\” kata Wakil Kepala SMAN 11 Bidang Kesiswaan, Arie Soekrisno.
\”Ini awal datang dia sudah emosi,\” lanjutnya.
Soekrisno menuturkan awal keributan bermula. Pada Selasa (25/8) Muhizar datang ke sekolah tapi tidak bertemu dengan yang pegawai yang mengurus hal tersebut, karena izin tidak masuk.
\”Jadi kami anjurkan besok, Rabu (26/8), dia datang tapi sudah emosi,\” ujarnya.
Hingga saat ini, kata Soekrisno, pihak sekolah telah membebaskan sedikitnya 3 siswa dari kewajiban membayar tunggakan tanpa harus menyertakan data atau surat keterangan tidak mampu.
\”Dengan tunggakan hampir Rp2 juta, kalau dia datang dengan baik-baik, saya yakin bisa dihapus, enggak perlu pakai surat keterangan tidak mampu, kan yang tahu sekolah,\” katanya.
Pihak sekolah berharap persoalan itu diselesaikan dengan kepala dingin secara musyawarah lewat komunikasi antara sekolah dan orang tua siswa.
\”Kalau bisa kita selesaikan secara musyawarah dengan kepala dingin. Itu kan hak dia untuk melapor ke Ombudsman, kita tidak bisa mencegah juga. Kita siap untuk menjelaskan kepada pihak Ombudsman. Tapi kan seharusnya kita komunikasikan lagi. Salah satu bukti itikad baiknya adalah dengan mencabut laporan ke Ombudsman,\” ujarnya.
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Aswarodi, menilai terjadi kesalahpahaman antara sekolah dan orang tua siswa.
Aswarodi berjanji akan mempelajari hal tersebut dan segera melakukan koordinasi dengan pihak sekolah.
\”Saya kira salah paham itu, kebijakan kita jelas kalau orang tidak mampu tidak ada kebijakan menahan-nahan rapor atau ijazah. Kita akan pelajari dulu.\”
Namun dia mengimbau agar masyarakat juga memiliki etika, bagi yang mampu sebaiknya turut berpartisipasi mewujudkan pendidikan yang bermutu.
\”Kita akan ada program subisidi, untuk yang tidak mampu kan kita gratiskan. Saya akan koordinasikan dengan pihak sekolah kalau memang orang tidak mampu atau golongan tidak mampu,\” tutup dia. (Josua)