Bandarlampung (Netizenku.com): Tersebutlah sebuah desa bernama Konoha. Tidak seperti desa-desa kebanyakan, desa ini tak hanya memiliki hamparan sawah. Tapi juga universitas yang reputasinya lumayan mentereng.
Kalau ada yang bilang kok nama desanya mirip nama desa fiksi di serial anime Naruto? ah, itu hanya kebetulan saja. Lagi pula apalah arti sebuah nama.
Universitas di Konoha itu dilabeli nama yang sama dengan nama desa, Universitas Konoha. Dari waktu ke waktu institusi ini terus berkembang. Malah belakangan progresnya bisa disebut menggeliat pesat. Kalangan akademisi senang, warga pun ikut kecipratan rasa bangga.
Tapi apa lacur, selalu saja ada yang kasak-kusuk berniat mengambil keuntungan sendiri. Rektor Universitas Konoha ternyata kelewat doyan duit. Sampai-sampai keblinger meraup fulus hasil tilepan. Untungnya aparat penegak hukum mengendus. Rektor rakus pun diringkus. Lalu disorongkan ke balik jeruji besi. Warga desa yang geram memakinya; mampus!
Rektor lama dikirim ke hotel prodeo, rektor baru menduduki kursi pucuk pimpinan Universitas Konoha. Seakan ingin menunjukkan perbedaan dengan pendahulunya, rektor anyar ini langsung tancap gas. Maunya membikin terobosan. Dia lekas mengambil kebijakan. Institusi yang dikendalikannya akan memberi gelar kehormatan pada tokoh desa.
Tak perlu menunggu lama, rencana itu segera direalisasikan. Sosok pertama yang disematkan gelar doctor honoris causa adalah kepala Desa Konoha. Pak Kades tentu girang. Meski tak sedikit warga desa bertanya-tanya. Prestasi apa yang telah membikin Pak Kades layak diganjar penghargaan se-adiluhung itu?
Setelah berpikir keras mencari jawaban, akhirnya warga menemukannya. Setidaknya ada kebaikan tersisa yang pernah dilakukan Pak Kades. Belum lama ini Pak Kades memang menghibahkan tanah desa untuk kepentingan Universitas Konoha. Mungkin poin itu yang menjadi pertimbangan prioritas pemberian penghargaan. Soal alasan lainnya bisa dicari-cari, toh. Oke deh, asas timbal balik cukup menentukan.
Tapi suasana desa sempat hiruk pikuk menanggapi kebijakan itu. Sedangkan Pak Kades sudah terlanjur bangga menerima penghargaan besar dari institusi terpandang di desanya. Para perangkat desa pun tak kalah keranjingan. Mereka mencoba mengambil peran untuk turut merayakan kegembiraan pimpinannya yang kini telah menyandang gelar doctor honoris causa.
Maka baliho-baliho segede gaban pun dipasang di beberapa titik strategis. Tak pelak warga seantero desa dapat melihat foto kadesnya mengenakan toga seraya mengembangkan senyum semringah. Imut banget.
Pak Kades jelas bangga bukan kepalang. Terlebih, penghargaan ini dianggapnya bisa makin menambah panjang list portofolionya. Semakin bonafid predikat yang disandang, semakin moncer pula reputasinya. “Ini bisa buat tambah-tambah modal untuk jadi menteri,” mungkin begitu pikir Pak Kades.
Tak dinyana euforia itu hanya berlangsung tidak lebih lama dari “seumur jagung”. Malah terasa begitu singkat. Pak Kades kaget bukan kepalang ketika mendapati informasi mantan rivalnya saat kontestasi pemilihan kepala desa dulu disebut-sebut juga akan diberi gelar seperti yang disandangnya.
Ulala, Pak Kades langsung kebakaran jenggot. Belingsatan. Dia tidak terima. Kini giliran dia yang menyoal atas pertimbangan apa Universitas Konoha memberi penghargaan pada bekas rivalnya? Dia menggugat atas kebaikan apa, eh, atas prestasi apa penghargaan itu diberikan.
Menurut Pak Kades, penghargaan terhadap mantan rivalnya ini, bisa dibaca berbeda bila dilihat dari sudut pandang politis. Orang akan menilai kemampuan Pak Kades berada dibawah rivalnya. Sebab si rival tidak perlu menjadi kades untuk memperoleh gelar kehormatan itu. Dengan kata lain rivalnya bisa bilang, “Apalagi kalau gue jadi kades, jelas bisa ngumpulin gelar kehormatan lebih tinggi dari pada elu. Kita memang beda level. Lu cemen, ah!”
Membayangkan olok-olok itu akan diucapkan mantan rivalnya, Pak Kades tersulut emosinya yang memang dikenal “bersumbu pendek”. Agar gelegak amarah tidak mengkristal dan menggumpal di pembuluh darah, dicarilah kanal pelepasan. Dia tumpahkan kekesalannya itu pada perangkat desa.
“Kalau gelar kehormatan diumbar segampang ini, kayak barang kodian, nggak ada bangga-bangganya lagi saya pakai titel itu. Mending balikin aja. Bisa, nggak?!” sergah Pak Kades dengan nada tinggi.
Perangkat desa yang duduk berderet di hadapannya serentak menunduk. Mereka tak punya nyali untuk sekadar mengangkat kepala. Apalagi untuk menjawab pertanyaan Pak Kades.
Namun diam-diam mereka berpikir keras. Mereka mencoba mencari alasan yang paling tepat bila memang gelar kehormatan Pak Kades ingin dikembalikan. Alasan apa kiranya yang layak dikemukakan ke kalangan akademisi Universitas Konoha.
Belum lagi mereka harus mempersiapkan penjelasan ke wartawan. Ini tidak boleh gegabah. Sebab salah kasih jawaban urusan bisa berabe. Malah blunder, akhirnya jadi bumerang. Harakiri. Bunuh diri. Apalagi ini tahun politik. Bisa hancur reputasi Pak Kades.
Apalagi dia masih kepingin maju pemilihan kepala desa periode mendatang. “Bisa makin tak laku dagangan ini,” gerutu perangkat desa di dalam hati. Ya, mereka dan mungkin yang lainnya memang hanya bisa bersungut-sungut di dalam hati. Sudah lumrahnya begitu. (Hendri Std)