Bandarlampung (Netizenku.com): Bawaslu kembali memutakhirkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2020 dengan menyoroti tahapan Kampanye terutama di masa pandemi Covid-19.
Sebelumnya, Bawaslu menyebutkan 4 dimensi dan 15 subdimensi yang menjadi indikator kerawanan Pilkada 2020.
I. Dimensi Sosial dan Politik : keamanan lingkungan, otoritas penyelenggara pemilu, otoritas penyelenggara negara, dan relasi kuasa di tingkat lokal.
II. Dimensi Pemilu Bebas dan Adil : hak pilih, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, ajudikasi keberatan pemilu, dan pengawasan pemilu.
III. Dimensi Kontestasi : hak politik, proses pencalonan, dan kampanye calon.
IV. Dimensi Partisipasi : partisipasi pemilih, partisipasi partai politik, dan partisipasi publik.
Dari hasil pemutakhiran IKP, penelitian Bawaslu menyebutkan, pandemi Covid-19 berpotensi mengganggu pelaksanaan tahapan Pilkada 2020.
Selain soal kepatuhan protokol kesehatan, Bawaslu juga merekomendasikan keterbukaan informasi tentang penyelenggaraan Pemilihan dan perkembangan kondisi pandemi Covid-19 di setiap daerah.
Penegakan protokol kesehatan sangat penting mengingat masih banyaknya kerumunan massa yang terjadi pada tahapan pendaftaran pasangan calon pada 4 – 6September 2020 lalu terdapat setidaknya 243 Bakal Pasangan Calon yang melakukan pendaftaran dengan menyertakan massa dan menciptakan kerumunan yang mengabaikan protokol kesehatan.
Untuk mencegah kerumunan massa kembali terulang pada tahapan Penetapan dan Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon peserta Pilkada 2020, selain mengingatkan kerawanan seperti tertuang dalam IKP, Bawaslu juga menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang Penetapan dan Pengundian Nomor Urut Paslon Pilkada 2020.
Dalam SE tersebut, Bawaslu memerintahkan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota untuk melakukan rapat koodinasi dengan partai politik dan Liaison Officer (LO) bakal pasangan calon untuk mencegah dan tidak menciptakan kerumunan massa pendukung pada kedua tahapan tersebut.
Berdasarkan IKP Pilkada 2020 yang dimutakhirkan September 2020, terdapat 50 kabupaten/kota yang terindikasi rawan tinggi dalam konteks pandemik.
Angka tersebut meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan IKP mutakhir Juni 2020 yang menyebutkan 26 kabupaten/kota terindikasi rawan tinggi dalam hal pandemi Covid-19.
Beberapa indikator untuk mengukur kerawanan tersebut di antaranya adanya penyelenggara pemilu yang terinfeksi Covid-19 dan/atau meninggal karenanya.
Adanya penyelenggara pemilu yang mengundurkan diri karena wabah Covid-19; adanya lonjakan pasien dan korban meninggal dunia karena Covid-19.
Dan adanya penolakan penyelenggaraan Pilkada 2020 dari masyarakat awam maupun dari tokoh masyarakat lantaran pandemik.
Adapun, 10 daerah dengan kerawanan tertinggi dalam aspek pandemik adalah Kota Depok, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, Kota Manado, dan Kabupaten Bandung.
Kemudian Kabupaten Sintang, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Bone Bolango, dan Kota Bandarlampung.
Untuk Kota Bandarlampung, Bawaslu RI juga menyebutkan, selain rawan penyebaran virus korona juga masih rawan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pada tingkat provinsi, seluruh daerah yang menyelenggarakan pemilihan gubernur terindikasi rawan tinggi dalam konteks pandemi.
Urutannya adalah Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, Jambi, dan terakhir Kalimantan Utara.
Tiga provinsi, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara berada dalam skor di atas 90 dari skor kerawanan maksimal 100.
Isu menonjol lainnya adalah soal netralitas ASN. Dalam hal ini, terdapat 56 kabupaten/kota yang tergolong dalam rawan tinggi dan sisanya, 205 daerah tergolong dalam rawan sedang.
Artinya tidak satu kabupaten/kota pun yang netralitas ASN-nya rawan rendah.
Begitu pula halnya dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur, tidak ada yang tergolong rawan rendah.
Delapan provinsi mendapat skor rawan tinggi dengan urutan Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Jambi, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, dan Bengkulu.
Tiga provinsi, yakni Sumatera Barat, Sulawesi Utara, dan Jambi memperoleh skor 100 atau tingkat kerawanan paling tinggi.
Satu provinsi, yaitu Kepulauan Riau tergolong dalam rawan rendah dalam aspek netralitas ASN.
Aspek lain yang juga terdapat lebih dari 50 daerah dengan kerawanan tinggi adalah soal hak pilih.
Sejumlah 66 kabupaten/kota termasuk dalam rawan tinggi dan 195 kabupaten/kota termasuk dalam rawan sedang pada aspek hak pilih. Tidak ada daerah yang termasuk rawan rendah pada aspek ini.
Pada level pemilihan gubernur, seluruh provinsi yang menyelenggarakan pemilihan gubernur memiliki kerawanan tinggi dalam aspek hak pilih.
Urutannya yaitu Jambi, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Riau.
Infrastuktur jaringan internet juga menjadi isu yang disorot Bawaslu, mengingat pada masa pandemi, beberapa aktivitas penyelenggaraan pemilu dilakukan secara daring, misalnya kampanye.
Sebanyak 67 kabupaten/kota tergolong dalam rawan tinggi pada aspek ini dan sisanya, 194 kabupaten/kota memiliki kerawanan tinggi.
Adapun pada pelaksanaan pemilihan gubernur, seluruh provinsi yang menyelenggarakan termasuk adalam rawan tinggi.
Urutannya adalah Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Riau.
Bawaslu juga memotret kerawanan dalam aspek materi kampanye, yaitu adanya potensi penggunaan konten dengan unsur identitas SARA, ujaran kebencian, hoaks, dan kampanye hitam.
Sebanyak tujuh kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Sekadau, Kota Bukittinggi, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Solok, Kabupaten Pasaman, Kota Sungai Penuh, dan Kabupaten Halmahera Timur memiliki kerawanan tinggi dalam aspek materi kampanye.
Sedangkan kabupaten/kota yang termasuk dalam rawan sedang ada sebanyak 18 daerah dan 236 daerah sisanya memiliki kerawanan rendah.
Dalam hal pemilihan gubernur, dua provinsi termasuk dalam rawan tinggi penggunaan materi kampanye yang melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu Sumatera Barat dan Bengkulu.
Satu daerah yaitu Jambi termasuk dalam rawan sedang dan sisanya, enam provinsi termasuk dalam rawan rendah.
Pada aspek politik uang, 19 kabupaten/kota termasuk rawan tinggi, dan 26 daerah termasuk dalam rawan sedang. Sebagian besar daerah termasukd alam rawan rendah, yaitu 261 kabupaten/kota.
Sebanyak lima provinsi yang menyelenggarakan pemilihan gubernur memiliki kerawanan tinggi dalam politik uang, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Empat daerah lainnya termasuk dalam rawan rendah meski tetap memiliki potensi terjadinya politik uang.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Bawaslu merekomendasikan sebagai berikut:
Penyelenggara pemilihan, pasangan calon, tim kampanye, dan pemilih selalu menerapkan protokol Kesehatan secara ketat dalam melaksanakan dan mengikuti kegiatan kampanye.
Penyelenggara pemilihan, pemerintah daerah, satuan tugas berkoordinasi secara berkelanjutan dalam keterbukaan informasi terkait pelaksanaan tahapan pemilihan dan perkembangan kondisi pandemi Covid-19 di setiap daerah.
Koordinasi kepolisian dan Gugus Tugas Penanggunalangan Covid-19 setempat dalam penegakan hukum dan penindakan atas pelanggaran protokol kesehatan.
Organisasi Kemasyaratakan, Organisasi Kepemudaan, Kesbangpol dan FKUB melakukan pencegahan dan penindakan terhadap konten-konten kampanye langsung dan tidak langsung yang bermuatan SARA, hoaks, ujaran kebencian, kampanye hitam dan terjadinya politik uang dalam masa kampanye.
Koordinasi penyelenggara pemilihan, BNPB dan Kepolisian dalam melakukan mitigasi bencana alam dan mencegah gangguan keamanan (kekerasan, intimidasi dan kerusuhan) dalam penyelenggaraan kampanye.
Koordinasi antara KPU, Bawaslu dan Pemerintah (Dukcapil) dalam memastikan manajemen data pemilih dilakukan secara berkelanjutan.
Menguatkan penggunaan teknologi informasi yang sesuai dengan kondisi geografis dan kendala yang dialami oleh penyelenggara pemilu.
Menjaga kemandirian aparatur pemerintah dari penyalahgunaan wewenangan dan anggaran daerah baik secara umum dan anggaran khusus penanggulangan Covid-19. (Josua)