Dua belas tahun lalu Swara Lampung terbit. Usai learning by doing, belajar dari berbagai perusahaan media di Lampung yang ketika itu jumlahnya masih relatif sedikit, saya menerbitkan tabloid dwi mingguan.
Setengah tahun berjalan saya bersama segelintir awak redaksi memberanikan diri untuk beralih menjadi tabloid mingguan. Biarpun bergenre terbitan berkala tapi kami menolak menjadi “media kliping”. Maksudnya materi yang diterbitkan melulu hasil menghimpun berita-berita dari media harian.
Rentang waktu penerbitan yang relatif longgar memberi kesempatan bagi awak redaksi untuk mengeksplor penulisan secara panjang dan mendalam. Tentu pilihan gaya penulisan serupa ini akan sangat mudah dilakukan oleh wartawan berpengalaman. Tapi tidak di Swara Lampung.
Awak redaksi kami berisikan “anak-anak kemarin sore”. Kebanyakan mahasiswa tahun terakhir. Bahkan belum pernah punya pengalaman membuat tulisan. Jangankan menulis berita, membaca saja tidak suka. Kalau pun (terpaksa) membaca dipastikan itu referensi sebagai pelengkap skripsi.
Dalam kondisi personil serba memprihatinkan itu saya bangun skuad Swara Lampung. Modalnya hanya satu tiada bukan keinginan kuat awak redaksi untuk merubah nasib. From nothing for something. Dari yang bukan siapa-siapa yang bahkan di lingkungan pergaulan kawan kampus pun terpinggirkan, kini ada harapan menjadi jurnalis. Sebuah profesi (yang saat itu) sangat membanggakan.
Saya penganut pandangan “penulis yang baik adalah pembaca yang baik”. Maka langkah awal saya mulai cekoki anggota kru redaksi dengan buku-buku sastra. Sebuah aliran kepenulisan yang sangat asing buat mereka. Tapi itulah persyaratan yang saya tegakkan. Membaca atau get out!
Berbulan-bulan ritual membaca berbagai buku sastra itu berbuah manis. Kru redaksi mulai bisa menikmati bacaan berkualitas. Bukankah ada ungkapan “aku adalah apa yang aku baca” maka dengan terbiasa membaca buku atau referensi berkualitas harapannya pola pikir dan cara menulis pun ikut ter-influence.
Teori ini terbukti, redaksi sudah mulai mampu membuat tulisan memikat. Setidaknya kami tidak menjadi air laut asin sendiri. Penilaian serupa muncul dari seorang penulis dan mantan wartawan bernama Irene Larasati. Pada 7 Desember 2011 dia menulis di Kompasiana dengan judul “Beberapa Media Paling Berpengaruh di Lampung”.
Kami di redaksi Swara Lampung, khususnya saya, tidak mengenal sosok Irine. Saya pun mengetahui tulisannya tanpa disengaja. Berikut saya kutip penggalan tulisannya:
“Sekian banyak media telah bertebaran di Lampung. Memasuki tahun 2000, kemunculan media-media baru, baik media harian maupun mingguan, makin merebak. Dari nama-nama yang beredar, ada beberapa yang memang dikenal atau cukup berpengaruh pada eksistensi media berkualitas….”
“…. Selain media harian, terbit pula media mingguan (tabloid). Saya menjumpai sebuah tabloid bernama Faktual dan Swara Lampung. Keduanya bergerak menyiarkan berita umum daerah dan berita ringan lain. Namun yang menonjol dari salah satunya yakni Swara Lampung. Tabloid ini cenderung menyampaikan berita dengan gaya tutur yang khas feature.”
Tulisan tersebut jelas membikin hati kami membuncah senang sekaligus bangga. Tapi hanya sesaat. Kami tak bersedia mabuk sanjungan. Justru kami mesti lebih mencambuk spirit untuk terus meningkatkan kemampuan. Budaya membaca buku-buku sastra terus dijaga hingga 2012 kami bersalin rupa menjadi surat kabar harian Lentera Swara Lampung.
Di tengah badai dan aral melintang yang tak henti menjegal langkah, upaya untuk tetap membaca referensi berkualitas dan membuat tulisan bernas terus kami lakukan. Kembali buah manis dituai. Salah satu awak redaksi kami berhasil meraih penghargaan tertinggi di Lampung. Pencapaian itu ikut diberitakan kantor berita Antara pada Minggu, 30 Agustus 2015.
Berikut saya kutip penggalan beritanya:
“Jurnalis dari Harian Lentera Swara Lampung dinobatkan sebagai peraih Penghargaan Saidatul Fitriah 2015 oleh Aliansi Jurnalis Independen Bandarlampung, pada malam puncak peringatan HUT ke-21 AJI di Bandarlampung, Sabtu (29/8) malam.”
Bagi kami pencapaian itu jelas sangat berharga, mengingat peserta lomba berasal dari berbagai jurnalis media harian ternama di Lampung. Kemudian menyusul berbagai penghargaan lain yang diraih kru redaksi Lentera Swara Lampung.
Namun hidup dan kehidupan, termasuk media harian Lentera Swara Lampung yang tumbuh kembang bersama awak redaksi, juga tak terlepas dari hukum alam layaknya air laut yang silih berganti mengalami masa pasang surut.
Perjalanan koran harian Lentera Swara Lampung yang telah mencapai usia 10 tahun ini memang mengajarkan banyak hal. Kendati demikian, setidaknya kami sempat diuntungkan pernah mencicipi suasana berbagai pencapaian, pernah tahu arah langkah untuk menuju sekaligus meraih kesuksesan.
Memasuki usia 11 tahun agaknya kami sudah terlampau lama menahan rindu. Kangen kembali meraih berbagai kesuksesan yang tentu saja menuntut konsekuensi perjuangan. Perjuangan yang tidak mudah pastinya. Malah mungkin saja menjadi perjuangan tanpa batas.
Namun kami yakin perjuangan mencapai yang terbaik akan selalu membimbing kami untuk tetap on the track, selalu berada di jalur terarah. Itu pun sudah merupakan pencapaian tersendiri yang berarti media kami tetap eksis dan memiliki track record baik. Sungguh, proses tidak akan menghianati hasil.(Hendri Std)