Bandarlampung (Netizenku.com): Kebijakan pemerintah melontarkan wacana para pasangan calon suami istri yang harus memiliki sertifikasi nikah menjadi persoalan hangat di kalangan masyarakat. Ada yang setuju, ada pula yang dengan tegas menolak.
Meski demikian, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Bandarlampung, Lemra Horizon, memastikan belum mendapatkan bocoran pasti terkait wacana tersebut.
\”Itu baru kita dengar berita, tapi kalau untuk follow up-nya belum kita tindak lanjuti karena belum ada petunjuk resmi,\” kata Lemra, saat ditemui ruang kerjanya, Kamis (21/11).
Ia mengatakan bahwa pihaknya akan turut menerapkan regulasi itu jika sudah ada petunjuk resmi terkait hal tersebut. Sebab kebijakan akan cukup berpengaruh pada proses administrasi dalam pernikahan. Artinya jika sudah disahkan akan ada perubahan persyaratan baru dari proses pernikahan.
Akan tetapi sebelumnya telah ada program nasional soal Bimbingan Perkawinan (Bimwin). Di Kota Bandarlampung sendiri program nasional itu telah berjalan. Menurut Lemra, Bimwin tidaklah berbeda dalam proses pengambilan sertifikat nikah.
\”Artinya begini, bimbingan perkawinan ini aslinya program nasional, itu kan ada dananya dari negara dan itu juga sangat terbatas. Tidak ada pungutan biayanya ke peserta. Melalui APBN,\” tuturnya.
Diungkapkannya pendanaan Bimwin sendiri memakan anggaran maksimal Rp10 juta untuk setiap angkatannya. Sedangkan di setiap angkatannya berjumlah 25 pasang atau 50 orang.
Semua jenis materi persiapan pernikan diberikan. Bahkan materi kesiapan fisik dan mental juga diberikan. \”Dia perangkatan, sudah 12 angkatan, setiap angkatannya 25 pasang,\” ungkapnya.
Lemra menerangkan bahwa persoalan sertifikasi nikah terinisiadi lantaran tingkat perceraian di Indonesia yang amat tinggi.
Rata-rata 65 persen kasus perceraian terjadi pada usia pernikahan di bawah 10 tahun. Menurutnya hal itu disebabkan lantaran kesiapan pernikahan yang belum ada.
\”Nah dengan ini mudah-mudahan berkurang, minimal sebelum menikah sudah dibekali. Sebenernya bagus, karena selama ini sudah melaksanakan itu. Menurut saya ini efektif. Tapi kita masih menunggu juknis,\” kata dia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA), pada tahun 2017, dari 364.164 kasus perceraian yang terdaftar, 152.575 kasus di antaranya disebabkan karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus.
Di posisi kedua, faktor ekonomi menyebabkan perpisahan pada angka 105.266 kasus. Sedangkan pada posisi ketiga yaitu faktor meninggalkan salah satu pihak.(Adi)