Bandarlampung (Netizenku.com): Di tanggal 27 Juni kemarin, sehari menjelang malam takbiran, UKMBS Unila, Keluarga Alumni UKMBS Unila (KAULA), KoBer, Klasika, dan segenap pemerhati kesenian dan kebudayaan di Lampung, kembali berkumpul di Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung dalam acara “Satu Malam 27an”.
Dengan tema “Seni, Pemoeda, dan Pergerakan” acara tersebut menghadirkan pembicara: Ari Pahala Hutabarat (Seniman & Budayawan), Neri Juliawan (Pemerhati budaya & Aktivis Kaula), dan Chepry Chairuman Hutabarat (Pemerhati budaya & Founder klasika). Acara yang dimulai pukul 19.30 itu, di buka dengan penampilan musik oleh Orkes Bada Isya dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi santai membahas perihal kebudayaan di Lampung saat ini.
Sebagai prolog diskusi, Ari Pahala Hutabarat (APH) memaparkan perihal bagaimana idealnya seni dan pemuda mengambil peran di tengah buruknya kondisi kebudayaan di Lampung.
Direktur artistik Komunitas Berkat Yakin (KoBER) itu berujar bahwa ‘Kenyataan’ tidak pernah netral, tak pernah objektif, realitas ekonomi dan politik telah mengkonstruk semuanya, selera kita, persepsi kita. Kapitalisme telah menjadikan nilai ekonomi sebagai tolak ukur dari semua realitas kehidupan.
”Jadi jangan heran kalau sekarang ini otak para politisi, pejabat pemerintah, bahkan intelektual isinya cuma ‘daw’ (duit), karena itulah buah konstruk dari kapitalisme,” ungkap APH.
Menurut APH seni dan pemuda memiliki watak yang sama yakni sebagai “pemberontak”. Mestinya sudah menjadi tugas mereka untuk menolak sesuatu yang dianggap stabil dan menempati posisi sebagai oposan.
Neri Juliawan menggarisbawahi problem tersebut. Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa tak ada revolusi yang tidak dimotori oleh pemuda, yang mestinya bisa dijadikan semangat pemuda saat ini untuk memiliki kesadaran dalam menciptakan perubahan.
“Kesadaran ini bisa muncul jika para pemuda terus menciptakan “dialog”, untuk ‘membagi’ keresahan, ide-ide, menciptakan imajinasi bersama,” ujarnya.
Selanjutnya Chepry Hutabarat angkat bicara merespon kondisi saat ini. Pemuda kita sulit sekali untuk kritis, kita tidak tau kekuatan besar apa yang mengkonditioning kita, dan kita tidak tau musuh kita siapa saat ini, semuanya pasif dan mementingkan diri sendiri. Itu semua buah dari kapitalisme.
Ia menjelaskan bahwa konstruk tersebut terselubung dalam derasnya arus informasi saat ini melalui medsos atau internet, yang membuat kita terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian dan membuat kesadaran kita hanya berpusat pada diri sendiri.
“Kita bertindak seakan sudah berumur tua. mindset kita hanya melulu ekonomi. oleh karena itu, diskusi apapun yang kita ikuti, gerakan apapun yang kita lakukan, jika mindset kita tak diubah, maka semua akan sia-sia,” ujarnya.
Founder Klasika itu mengatakan bahwa di sini peran guru menjadi penting, kita harus menemukan guru di diri kita masing-masing, yakni nurani.
Baginya, ‘guru’ itulah yang akan menuntun kita menumbuhkan kepedulian terhadap kondisi realitas saat ini.
Peserta diskusi bertanya dan saling menanggapi. Dialog terjadi. Pukul 23.30 diskusi dicukupkan, dan ditutup dengan beberapa lagu penuh semangat oleh Orkes Bada Isya.
Fauzi, selaku ketua pelaksana acara tersebut, optimis bahwa “Satu Malam 27an” akan terus berlanjut untuk memberi sumbangsih bagi kemajuan kebudayaan di Lampung.
“Tidak terasa acara ini udah berjalan kurang lebih 2 tahun, rutin setiap bulan kita kumpul di sini. Harus kita akui di Lampung sangat minim ruang-ruang dialog semacam ini. Di sinilah peran kita, bahu membahu untuk Lampung yang lebih waras,” ujarnya. (Luki)