Bandarlampung (Netizenku.com): Pasca putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir Keputusan KPU Kota Bandarlampung Nomor 007/HK.03.1-Kpt/1871/KPU-Kot/I/2021 tentang pembatalan Pasangan Calon Nomor Urut 3 Hj Eva Dwiana SE dan Drs Deddy Amarullah sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandarlampung Tahun 2020, akademisi Universitas Lampung (Unila) menilai putusan MA menyelamatkan suara masyarakat Kota Tapis Berseri.
Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) Unila bersama Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), Lembaga Hukum dan HAM (LHH) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Lampung mengadakan diskusi daring Pasca Keputusan MA dan Evaluasi Pilkada Kota Bandar Lampung Tahun 2020: Tinjauan Hukum dan Sosial Politik pada Sabtu (30/1).
\”Bayangkan saja kalau 60 persen suara kemenangan itu dibatalkan begitu saja. Secara esensial demokrasi, suara yang 60 persen ini mau dikemanakan?\” Kata Akademisi FISIP Unila Arizka Warganegara PhD yang menjadi narasumber bersama Akademisi FH Unila Prof Wahyu Sasongko, Akademisi FISIP Unila Dr Syarief Makhya, Akademisi FISIP Universitas Diponegoro Dr Nur Hidayat Sardini yang juga Ketua Bawaslu RI 2008-2011.
Pemantik diskusi Ketua Prodi MIP Unila Hertanto PhD dan dimoderatori oleh Akademisi Unila Darmawan Purba MIP.
\”Pilkada hanya cara kita berdemokrasi, esensinya adalah bagaimana pilihan-pilihan rakyat bisa tersalurkan dan tercerminkan dari siapa yang menang. Walaupun dalam pilihan-pilihan politik, kita tidak bisa menutup mata, ada pilihan yang terintervensi money politics dan lain-lain,\” ujar Arizka.
Dia mengutip pandangan Dr Ari Darmastuti yang juga Akademisi FISIP Unila mengenai Retro Aktif bahwa kasus yang sudah terjadi seharusnya tidak bisa mengulangi proses ke depan.
Pelanggaran administrasi pemilihan secara terstruktur, sistematis, masif (TSM) dan signifikan terjadi seharusnya pasangan calon didiskualifikasi pada proses tersebut.
\”Ketika rakyat sudah memandatkan pilihan politiknya dan memberikan dukungan pada satu kandidat, satu suara itu sangat berharga. Kita menghindari 5-6 juri itu membatalkan pilihan-pilihan ratusan ribu rakyat,\” kata Arizka.
Dia berharap, ke depan, ada pembenahan regulasi dari berbagai sisi sehingga pilkada tidak lagi dipandang sebagai sebuah hasil akhir demokrasi.
\”Hukum itu adalah produk politik. Membincangkan soal regulasi pemilu tentunya ini adalah kontestasi dinamika di antara partai politik sendiri. Apalagi kemudian seperti yang disampaikan Ayahanda Wahyu Sasongko, regulasinya memang acak kadut,\” ujar Arizka.
Hukum acak kadut ini mengakibatkan kegagalan elit untuk memproduksi regulasi yang tepat dan efisien, kemudian kegagalan para rekruter komisioner mencari sumber daya manusia yang pas untuk duduk pada sisi penyelenggara.
\”Yang kedua, definisi kontekstual harus jelas, apa yang dimaksud dengan incumbent, siapa yang dikategorikan sebagai incumbent, apa itu TSM. Dan saya pikir ini bukan soal siapa yang melanggar dan kewenangan apa, tapi ini persoalan bagaimana kita menyelamatkan suara pemilih. Ini menjadi hal yang harus dipertimbangkan,\” kata Arizka.
Prof Wahyu Sasongko mengatakan perubahan hukum terkesan experiment atau uji coba tanpa kejelasan.
\”Setiap perubahan peraturan tidak ada tolak ukurnya. Apakah perubahan yang baru lebih baik dari perubahan kemarin atau tidak,” kata Prof Wahyu.
Dia menjelaskan pelanggaran TSM awalnya diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikategorikan sebagai perselisihan hasil penghitungan suara pilkada.
Namun dalam perkembangannya pelanggaran TSM dianggap administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 135A ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Kemudian Bawaslu RI menerbitkan Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Yang Terjadi Secara TSM.
“Kalau pelanggaran adminstrasi itu logikanya ya ke MK itu, dengan mengulang pilkada, kalau dibatalkan ya berarti itu merupakan hukuman. Menurut saya itu bukan sanksi administrasi tapi hukuman,” kata Prof Wahyu. (Josua)