Bandarlampung (Netizenku.com): KPU Provinsi Lampung mencatat sebanyak 5.952 penyandang disabilitas terdaftar sebagai data pemilih pada Pemilu 2019 di 15 kabupaten/kota se-Lampung. Jumlah pemilih laki-laki sebanyak 3.180 dan perempuan 2.772 orang.
Namun dari jumlah itu, tingkat partisipasi penyandang disabilitas yang menggunakan hak pilihnya di TPS pada 17 April 2019 lalu hanya 31,82 persen atau 1.894 orang. Tingkat partisipasi penyandang disabilitas laki-laki 30,44% (968) dan perempuan 33,41% (926).
Anggota KPU Provinsi Lampung Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat, Antoniyus Cahyalana, menjelaskan hak politik penyandang disabilitas diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
“Hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan, memilih parpol dan/atau individu yang menjadi peserta pemilu, membentuk dan menjadi anggota pengurus ormas atau parpol, berperan aktif dalam tahapan pemilihan, memperoleh pendidikan politik, dan memperoleh aksesibilitas sarana prasarana pemilu,” kata dia.
Hal itu disampaikan Antoniyus Cahyalana dalam “Diskusi Demokrasi dan Kepemiluan: Meningkatkan Partisipasi Pemilih Pada Penyandang Disabilitas” yang digelar KPU Kabupaten Pesawaran secara daring pada Kamis (30/9).
Diskusi tersebut menghadirkan narasumber dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia, selaku Peneliti Perludem, dan diikuti komisioner KPU daerah dari dan luar Provinsi Lampung.
Antoniyus memaparkan pada pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.
“KPU memfasilitasi pemilih disabilitas dalam pemilu dan pemilihan dengan pendataan secara khusus, diberikan sosialisasi pemilu secara khusus, TPS ramah disabilitas, dan surat suara khusus,” ujar dia.
ODGJ Punya Hak Politik yang Sama
Peneliti Perludem, Nurul Amalia, mengatakan penyandang disabilitas bisa berpartisipasi dalam pemilu dengan menjadi penyelenggara, peserta pemilu, pengawas pemilu, tim kampanye, mengikuti kampanye, menjadi pemantau pemilu, dan mencari informasi peserta pemilu, serta terlibat dalam diskusi atau mengadvokasi kepentingan kepada peserta pemilu.
“Saya yakin bapak/ibu juga pernah melihat meme yang pernah beredar di internet, narasinya menstigma orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dengan sebutan orang gila,” ujar dia.
Perludem melakukan riset terkait hak politik ODGJ yang hasilnya dirilis pada Selasa, 21 September 2021. Riset dengan judul “Gangguan Terhadap Hak Memilih, Fenomena dan Upaya Penanggulangan” bisa diunduh di laman perludem.org.
Riset tersebut menjelaskan pemilih disabilitas psikososial atau ODGJ yang sedang mendapatkan perawatan di panti kesehatan jiwa kesulitan untuk mengurus formulir pindah memilih tanpa fasilitasi dari penyelenggara pemilu atau pihak panti.
Tanpa pengurusan surat administrasi ini, hak pilih pemilih disabilitas psikososial tak dapat digunakan. Pemilih disabilitas psikososial memiliki keterbatasan mobilitas sehingga tak dapat mengurus surat pindah memilih sendiri.
“Poinnya, syarat administrasi mengakses hak pilih dan untuk dipilih, sangat menentukan apakah seorang warga negara bisa berpartisipasi atau tidak dalam pemilu,” kata Amalia.
Menurut dia, sikap elit politik yang menyematkan stigma disabilitas mental sebagai orang yang hilang akal, tidak mampu memilih, menyebabkan ruang bagi disabilitas mental untuk berpartisipasi di pemilu terancam hilang.
“Apalagi kalau KPU-nya tidak punya pemahaman yang baik terhadap hak pilih disabilitas mental yang sudah dijamin oleh konstitusi melalui Putusan MK Nomor 135 Tahun 2015,” ujar dia.
Dari hasil pemantauan Perhimpunan Jiwa Sehat di 2019, tutur Amalia, situasi politik yang mempertanyakan hak pilih disabilitas mental, membuat beberapa KPU daerah menjadi ragu dalam mendaftar warga disabilitas mental.
“Terlebih yang ada di panti-panti sosial. Itu yang membuat Perhimpunan Jiwa Sehat akhirnya sulit mengadvokasi KPU daerah agar pihak KPU mau memfasilitasi panti sosial untuk perekaman KTP Elektronik bagi penghuni panti,” kata dia.
Untuk meningkatkan partisipasi pemilih disabilitas yang bermakna di pemilu dan pemilihan, Amalia menyampaikan beberapa strategi yaitu:
1. Penguatan kapasitas penyelenggara pemilu mengenai hak-hak disabilitas dalam penyelenggaraan pemilu.
“Kalau regulasinya sudah bagus tidak ada hambatan administrasi, tetapi karena kurangnya pemahaman dan kemauan kuat penyelenggara pemilu memfasilitasi hak pilih disabilitas, maka daftar pemilihnya tidak menjadi inklusif,” kata dia.
2. Terobosan teknis untuk pemilu inklusif contohnya memfasilitasi hak pilih untuk semua jenis disabilitas.
3. Sosialisasi kepada semua jenis disabilitas yang dalam pemberian semua materi sosialisasi perlu disesuaikan dengan cara yang bisa diterima dengan baik.
“Masing-masing disabilitas punya kondisi khusus, dan penyelenggara pemilu harus peka terhadap kondisi khusus itu,” ujar dia.
4. Penyediaan informasi pemilu yang memadai dan diseminasi informasi secara relevan.
“Kita perlu evaluasi, biasanya kita menyampaikan informasi mengenai pemilu dimana saja. Ada audio filenya atau tidak? Apakah sarana-sarana penyampaian informasi bisa diakses secara mudah atau tidak oleh semua jenis disabilitas.”
“Penting KPU membangun relasi dengan komunitas-komunitas disabilitas. Melibatkan dalam sosialiasi dan bimtek penyelenggara ad hoc, begitu juga pemantauan pemilu,” kata dia.
5. Penguatan kapasitas kelompok disabilitas mengenai penyelenggaraan pemilu.
“Harus difasilitasi pelatihan misalnya pelatihan pemantauan pemilu, juga pelatihan tata kelola pemilu untuk menambah wawasan agar mereka percaya diri untuk mendaftar sebagai penyelenggara pemilu,” kata dia.
Semua orang termasuk kelompok disabilitas, lanjut Amalia, akan bisa berpartisipasi secara bermakna jika mereka mendapatkan informasi yang benar dan utuh mengenai peran yang bisa mereka ambil, lingkungan yang ramah, memfasilitasi kebutuhan khusus mereka, dan kondisi yang aman untuk berpartisipasi.
Kemudian faktor kesehatan dan keamanan, di masa pandemi seperti saat ini, berpartisipasi di pemilu menjadi terbatas.
“Terlebih kepada kelompok disabilitas yang menurut WHO menjadi kelompok rentan terdampak Covid-19,” tutup dia. (Josua)