Tensi politik nasional belum juga reda usai hajatan pilpres. Untungnya angin segar berhembus dari balik dinding gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Munculnya legislasi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dianggap sebagai “kembalinya” akal sehat. Karena mendudukkan kembali hakikat demokrasi pada tempatnya. Sejauh mana dinamika ini bisa memengaruhi peta politik dan arah angin pemilihan gubernur (pilgub) di Lampung?
(Netizenku Network): “MESTINYA ini bisa dengan mudah dibaca oleh partai politik dan politisi di Lampung untuk menyusun ulang peta politik, khususnya dalam menghadapi pemilihan kepala daerah,” kata Erwin Remy, Wakil Ketua III Pemenangan Pemilu Partai Buruh Lampung, Minggu (25/8/2024).
Dia menambahkan, keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 sebagai kesempatan emas untuk benar-benar menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. “Harusnya kepala daerah yang diusung jangan terkesan sekadar giveaway. Atas kehendak satu atau gabungan partai tertentu saja. Sudah semestinya pilkada di Lampung ini bisa memunculkan beberapa kandidat terbaik yang diusung oleh partai-partai. Sehingga masyarakat punya pilihan alternatif untuk memilih yang terbaik dari yang terbaik,” imbuh Erwin yang juga Sekretaris DPW Serikat Petani Indonesia (SPI) Lampung.
Diketahui keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 sebagai jawaban atas gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Keputusan itu mengatur tentang ambang batas pencalonan pilkada. MK menegaskan, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD, sebagaimana diatur pada Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada.
“Masyarakat Lampung harusnya menuntut kepada partai-partai untuk mau mengusung sendiri kandidat-kandidatnya. Jangan seperti sekarang. Parpol-parpol itu hanya membebek berkerumun mendukung satu kandidat yang belum tentu kemampuannya bisa diandalkan sebagai kepala daerah,” imbuhnya lagi.
Hal senada juga disampaikan Abdullah Fadri Auli dari Partai Umat yang didapuk sebagai Ketua Koalisi Partai Non Parlemen di Lampung. Menurutnya dibentuknya koalisi ini dimaksudkan salah satunya untuk memecah kebekuan politik yang sedang berlangsung di Lampung. “Kecenderungan hanya ada satu kandidat dan kemungkinan munculnya kotak kosong dalam pilgub itu tendensi buruk bagi demokrasi di Lampung. Padahal keputusan MK sudah membuka selebar-lebarnya pintu masuk bagi partai-partai parlemen untuk mengusung sendiri kandidatnya,” ungkapnya saat dihubungi.
Abdullah mengkalkulasi setidaknya ada 7 pasang kandidat yang bisa mewarnai pilgub Lampung kalau tiap partai yang berada di parlemen mau memanfaatkan keputusan MK tersebut. “Hanya satu partai parlemen yang tidak bisa mengusung sendiri kandidatnya yaitu Demokrat. Tapi kalau Demokrat bergandengan dengan partai-partai non parlemen yang saat ini memiliki persentasi 6,25 persen, maka bisa mengusung pasangan kandidat di pilgub nanti. Sehingga akan ada potensi 8 peserta pilgub,” urainya.
Lebih lanjut Abdullah menegaskan, akan lebih banyak manfaatnya kalau ada banyak pilihan kandidat pada pilgub mendatang. Mengenai partai non perlemen yang berkoalisi dirinya menyebut sampai saat ini ada 7 partai yang telah menyatukan barisan.
Orientasi Parpol
Mencermati stagnya dinamika politik di Lampung menggelitik pengamat politik dari Fakultas Sosial Politik Universitas Lampung (Fisip Unila) Sigit Krisbintoro. Dia menilai bila partai politik masih juga mager (malas gerak) sementara sudah terbit keputusan MK itu menandakan partai politik masih menggunakan strategi kolaborasi politik dan pragmatisme politik dengan tujuan kepentingan politik sesaat yang tidak mengindahkan demokrasi.
“Bukankah esensi demokrasi adalah parpol berkonsultasi dan bermusyawarah dengan rakyat untuk menentukan pemimpin daerah ke depan? Dampak negatifnya nanti akan tergerusnya kepercayaan rakyat terhadap parpol maupun pemimpin daerahnya. Ini jangan dipandang enteng. Sebab bisa mengurangi legitimasi pemimpin yang terpilih,” ungkapnya.
Sigit juga menyoroti kemungkinan adanya keterbatasan SDM atau kader dan ketiadaan daya dukung finansial bagi parpol dalam mengajukan kandidat gubernur. Menurutnya hal ini bisa disiasati lewat koalisi.
“Bangun koalisi baru. Bahkan bisa menjalin dukungan bersama partai-partai non parlemen. Ada banyak jalan menuju Roma. Tinggal semua berpulang kembali pada orientasi setiap partai. Apakah bersungguh-sungguh ingin menegakkan spirit demokrasi atau cuma sekadar menjadi oportunis politik yang nyaman mendukung satu calon yang dianggap kuat. Kuat dalam hal ini tentu banyak persepsinya,” papar Sigit.
Dia menambahkan, PDI Perjuangan sesungguhnya bisa memunculkan kadernya, Umar Ahmad. Demikian pula dengan Partai Golkar yang mestinya mengajukan Arinal Djunaidi.
Di sisi lain pengamat politik dan pemerintahan Universitas Lampung, Bendi Juantara, menganggap wajar bila muncul keinginan publik Lampung agar ada banyak pilihan kandidat di pilgub.
“Kesempatan untuk mengakomodir aspirasi rakyat sudah ada. Keputusan MK adalah pintu masuknya. Terlebih putusan ini juga membuka ruang bagi partai untuk dapat mengusung kandidat sendiri tanpa harus koalisi,” terangnya saat dimintai tanggapan.
Bendi menggambarkan, jika Lampung menggunakan 7,5 persen dari suara sah maka tidak hanya Gerindra yang dapat mengusung calon sendiri. Tapi juga beberapa partai lain yakni PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PAN, PKS dan Nasdem.
“Namun demikian kalau melihat dinamika politik terakhir sepertinya calon pasangan RMD-Jihan diusung oleh koalisi besar, tidak hanya Gerindra tapi juga PKB, PKS, Nasdem, demokrat dan PAN. Mereka sepertinya tetap melanggengkan skenario koalisi nasional dimana ada Koalisi KIM Plus. Hanya saja kecenderungan politik adalah dinamis. Artinya peluang pembentukan koalisi dan rombak koalisi masih akan terjadi hingga dimenit akhir pendaftaran di KPU,” kata Bendi.
Harapan lainnya, lanjut dia, PDI Perjuangan dan Partai Golkar sangat mungkin memanfaatkan situasi politik terkini. Terlebih dengan dibekali keputusan MK. “Tapi itu juga masih perlu mempertimbangkan pergantian ketua umum Golkar. Apakah kemudian Arinal tetap akan diusung sebagai calon atau justru berkoalisi dengan partai lain,” terangnya.
Analisis ini, imbuh Bendi, lantaran Lampung merupakan salah satu daerah strategis bagi kepentingan partai politik nasional. Tidak heran bila dinamika politik yang muncul saat ini tidak akan berbeda jauh dengan daerah strategis lainnya.(*)