(NETIZENKU.COM): Di tengah hutan lebat yang hijau dan misterius, seekor burung Garuda berdiri dengan gagah perkasa di atas pagar kayu tua yang kasar namun kokoh. Sayap Garuda terbentang lebar, bulu-bulunya berwarna cokelat keemasan dengan ujung yang tajam, mencerminkan kekuatan dan wibawa. Matanya tajam dan garang, menatap lurus ke bawah dengan sorot yang penuh dominasi.
Di balik pagar itu, terdapat seekor banteng besar berwarna hitam legam. Tanduknya tinggi menjulang, melengkung ke atas dengan kesan kokoh dan kuat, namun tampak kontras dengan moncong berwarna putih yang bersih mencolok. Wajah banteng menunjukkan ekspresi ketakutan, matanya membelalak dan tubuhnya sedikit mundur. Dia memandangi Garuda dengan campuran rasa takut dan kewaspadaan.
Kemunculan Garuda yang terasa tiba-tiba itu bukan lantaran usai terbang tinggi membelah langit menembus awan lalu kelelahan dengan napas tersengal, lantas memutuskan hinggap untuk sekadar rehat sejenak. Bukan karena itu.
Lagi pula tidak pernah ada stereotip Garuda semacam itu. Jangan samakan dengan Nuri apalagi burung Murai Batu yang seumur-umur hidupnya melulu dihabiskan untuk hinggap di tangkringan dalam kandang nan resik. Garuda jelas tak mau disandingkan dengan Murai Batu yang kesohor oportunis.
Tengok saja kelakuannya. Usai berleha-leha sambil menggoyang-goyangkan ekor panjangnya. Biasanya Murai Batu disodori sajian jangkrik, ulat hongkong, semut dan lauk pauk lainnya untuk dibarter dengn suara ceracau dari mulutnya. Manusia teramat suka mendengarkan suara itu. Padahal boleh jadi si Murai Batu sedang memaki menu makan barusan yang kurang memenuhi seleranya.
Bisa saja makian itu berisi omongan jorok yang tak pantas ditujukan pada si empunya. Ironisnya, rutinitas semacam itu terus berulang. Sangat mungkin ceracau Murai Batu adalah gelak tawa terbahak-bahak usai dia saksikan kedunguan si empunya yang tidak berkesudahan.
Garuda selalu meludah setiap kali tanpa sengaja melihat perilaku Murai Batu yang dianggap menjijikkan itu. Biasanya dia segera memalingkan wajah atau segera terbang sebelum lambungnya membuncah ingin muntah.
Atas alasan geram tak terbendung itu pula kali ini Garuda merangsek ke kandang Banteng. Iya, bukan Murai Batu yang ingin dilabraknya. Tapi si Banteng. Puiiih…!!! Garuda tak pernah gentar dengan badan besar dan tanduk menjulang yang dibanggakan Banteng. Buatnya itu semua hanyalah aksesoris. Hiasan semata. Semacam gimick. Sama sekali tidak berbahaya baginya.
Kedatangan Garuda bukan tanpa alasan. Dia sengaja datang untuk memberi ganjaran pada Banteng. Bagi Garuda si Banteng bongsor yang doyan berkubang ini sudah berkhianat. Jauh sebelumnya mereka sudah pernah buat perjanjian. Banteng dipercaya berkandang di hutan ini. Dengan catatan dia mesti menyeruduk tiap manusia rakus yang masuk hendak menjarah isi hutan. Banteng wajib menghalau manusia-manusia licik hingga ke luar rimba.
Nyatanya Banteng ingkar janji. Dia terlena dengan kubangan buatan yang dibikin manusia sebagai iming-iming agar Banteng bisa berleha-leha di sana. Mirip orang-orang kaya yang punya kolam renang di pekarangan belakang rumahnya, Banteng keranjingan berasyik masyuk di sana.
Apalagi manusia rutin menyuguhkan kopi hangat yang aromanya memikat dan rasanya “nendang” bikin kepala terang benderang. Tak pelak sempurna sudah. Banteng tak henti-henti mengaguminya seraya bergumam “nikmat mana lagi yang kau dustai”.
Namun, satu waktu, Banteng berang. Usai berkubang sepanjang pagi hingga siang dia tidak mendapati seceret kopi yang biasa berada di pinggir kubangan. Walau matanya sudah menyapu ke sekeliling yang dicari tetap tak didapati. Tak ayal, sambil menahan marah, Banteng menggeram lantang kepada manusia. Dia menggugat ketiadaan kopi kesukaannya.
Dengan mimik takut yang dibuat-buat manusia bilang kesulitan mencari biji kopi. Butuh waktu berhari-hari untuk mencarinya ke wilayah nun jauh di sana. Mendengar itu Banteng makin kecewa. Dia sudah terlanjur ketagihan nikmatnya menyesap rasa kopi.
Tapi manusia punya tawaran. Andai banteng mengizinkan ditanam pohon kopi di hutan ini, tentu Banteng tidak akan pernah lagi kesulitan mendapati kopi hangat. Tanpa pikir panjang Banteng manggut. Sedangkan manusia menunduk dalam-dalam seakan menunjukkan sikap patuh. Padahal manusia sedang menyembunyikan seulas senyum kemenangan yang mengembang sempurna di bibirnya.
Sejak itulah pohon kopi ditanam di dalam hutan. Bukan sebatang dua pohon yang ditanam. Bukan pula sepetak dua hamparan luasan kebunnya. Manusia merasionalisasi kepada Banteng, langkah ini sengaja diambil semata-mata demi menjamin ketersediaan kopi bagi Banteng.
Banteng yang merasa diistimewakan hanya mengangguk pelan. Bagi manusia isyarat itu sudah lebih dari cukup sebagai restu. Dengan alasan butuh tenaga tambahan untuk menanam pohon dan memanen buah kopi dalam sekejap hutan tak hanya disesaki pohon kopi, tetapi juga oleh pondok-pondok hunian manusia. Orang-orang itu datang berduyun-duyun.
Berpuluh-puluh tahun fenomena demikian terus berlangsung. Banteng mengabaikan kewajiban yang berada di pundaknya untuk menjaga kelestarian hutan. Dia malah membiarkan pohon berumur ratusan tahun ditumbangkan dan diganti pohon kopi. Banteng justru intens berkonspirasi dengan manusia bahkan menjadi “tukang pukul” untuk menghalau manusia-manusia yang memprotes perambahan rimba.
Garuda sempat mendengar kabar ini. Dia kecewa pada Banteng. Tapi juga masih menghargai perasaan rekannya itu. Maka dia memutuskan untuk memberi peringatan secara tidak langsung. Garuda mengutus Harimau untuk memberi pelajaran pada manusia.
Harimau patuh lalu melompat masuk ke kerumunan semak dan menghilang dari pandangan Garuda. Harimau melesat menembus rimba mendatangi perkampungan di dalam hutan. Dia mengendap-endap sampai akhirnya….satu, dua, tiga, empat manusia diterkam.
Dasar bebal. Pelajaran yang diberi Harimau tidak membikin manusia mengerti dan jera untuk segera hengkang dari rimba. Harimau melaporkannya dan membuat Gaaruda naik pitam.
Menurut Garuda, kiranya Banteng sudah tak peka lagi dengan bahasa isyarat. Terpaksa tindakan tegas mesti diambil. Itu artinya dia sendiri yang harus mengeksekusi. Untuk itu dia menyatroni langsung kandang Banteng pagi ini.
Tanpa basa-basi Garuda langsung menatap tajam Banteng yang pernah menjadi mitranya pada satu kesempatan. Tapi itu dulu. Kini keduanya sudah menempuh jalan masing-masing.
Bahkan Garuda menganggap sikap Banteng sudah keterlaluan. Garuda sudah hilang kepercayaan kepada Banteng. Untuk meminta Banteng bertanggung jawab atas tindakannya jelas tidak mungkin. Muka Banteng hari ini sudah setebal kulitnya. Sudah tak punya lagi rasa malu. Terlebih dirinya sudah merasa sebagai penguasa mutlak.
Garuda memutuskan untuk mengambil langkah konkrit. Dia tak sungkan lagi untuk head to head dengan Banteng. Pilihannya cuma satu: merebut dan menguasai kandang Banteng.
Kini Garuda dan Banteng sudah saling berhadapan. Banteng tahu Garuda datang untuk menyingkirkannya. Banteng juga tahu tanduk di kepalanya sudah tak setangguh dulu. Dia sendiri ragu apakah mampu menanduk Garuda bila nanti burung raksasa itu datang menyerbu ke arahnya.
Meski ragu, Banteng tak sudi melepaskan wilayahnya begitu saja. Dia menunggu gerakan Garuda. Benar, hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang. Menunggu diserang.
Sementara Garuda sangat yakin. Kehadirannya yang tidak dinyana sudah mampu menggedor mental Banteng. Baginya ini merupakan kemenangan awal. Tugasnya kini mengawasi. Pandangannya tertuju pada kedua mata Banteng. Ketika Banteng lengah dia sudah tahu harus melumpuhkan titik tersebut. Garuda ingin membikin Banteng kehilangan pandangan. Melumpuhkan akan jauh lebih muda kalau Banteng telah kehilangan arah.
Kalau matanya sudah picek ditembus cakar kukunya sangat mungkin Banteng akan berjalan terhuyung tak menentu. Boleh jadi dia akan terperosok ke jurang. Kalau pun nanti Banteng benar-benar lumpuh tak berdaya, seisi rimba tidak akan menyalahkan Garuda. Karena narasi yang terbangun Banteng tersingkir dari rimba usai terjungkal di kedalaman akibat ulahnya sendiri yang telah salah melangkah. (*)