Bandarlampung (Netizenku.com): Pemerintah Kota Bandarlampung akan meluncurkan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Wali Kota Bandarlampung Eva Dwiana mengatakan bantuan hukum ini untuk melindungi dan memulihkan rasa percaya diri perempuan dan anak.
“Kita sebentar lagi akan launching bantuan hukum untuk ibu dan anak di Kota Bandarlampung. Kita akan fasilitasi dan kantornya ada di Kantor Wali Kota Bandarlampung. Jadi ada laporan kepada kita,” kata Eva Dwiana dalam kegiatan Pelatihan Manajemen Kasus bagi lembaga layanan perlindungan perempuan dan anak di Hotel Emersia, Kamis (1/7).
Layanan bantuan hukum bagi perempuan dan anak diharapkan dapat segera terbentuk dengan melibatkan Lurah dan Camat agar penanganan kekerasan langsung tertuju pada sumbernya atau korban.
“Masalah ibu dan anak ini banyak yang terpendam. Kita akan bantu secara moril karena kekerasan pada perempuan bukan aib,” ujar Eva Dwiana.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Bandarlampung, Sri Asiyah, mengatakan kegiatan yang berlangsung 1-2 Juli 2021 diikuti berbagai komunitas, CSO, aparat penegak hukum, dan Puskesmas.
“Pelatihan ini bertujuan supaya lembaga yang selama ini menangani kasus perempuan dan anak mendapatkan ilmu sesuai standar dan prosedur yang ada. Mereka bisa menangani kasus-kasus yang terjadi pada perempuan dan anak,” ujar Sri.
Baca Juga: Bandarlampung Tertinggi Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di SIMFONI-PPA
Dia mengatakan sepanjang Januari-Juni 2021, terdapat 7 kasus anak dan 3 kasus perempuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kota Bandarlampung. Penyelesaian dilakukan dengan litigasi (jalur hukum) dan non litigasi (pemulihan psikologis, medis, atau rumah aman).
“Dinas PPPA sifatnya fasilitasi, jadi kalau ada laporan, kami lihat dulu kasusnya seperti apa bekerja sama dengan lembaga pemerhati anak dan perempuan. Kalau kasus itu bisa diselesaikan di tingkat non litigasi kita dampingi bekerja sama dengan psikolog supaya anak-anak itu tidak mengalami trauma,” kata Sri.
Selama ini, lanjut Sri, masyarakat khususnya perempuan enggan mengadukan peristiwa kekerasan yang dialami karena dianggap aib keluarga. Dia mengharapkan perempuan dan anak korban kekerasan memiliki kesadaran untuk melaporkan kejadian yang dialami, baik kekerasan fisik maupun verbal. “Kita dibentak sama suami atau dibilang bodoh, itu sudah kekerasan verbal,” tutup dia. (Josua)