Interaksi sebuah media dengan audiens-nya mirip-mirip menjaga hubungan dengan pasangan. Sekali saja kepercayaan hilang, bisa rusak susu sebelanga. Trust menjadi kunci mutlak!
(Netizenku.com): Jayson Blair, pemuda ini terbilang energik. Usianya masih sanggat produktif, 27 tahun. Lelaki keturunan Afro Amerika ini awalnya tergabung magang dengan The New York Times. Dia dianggap rajin. Tulisannya banyak dimuat Times.
Sebuah prestasi yang tidak kecil untuk ukuran Times sebagai media bereputasi besar. Bahkan Howell Raines, sang pemimpin redaksi, menaruh perhatian besar terhadap pencapaian tersebut. Ia lantas mengganjar Blair dengan mengangkatnya sebagai staf. Jayson Blair pun tersenyum semringah.
Lahir sejak 1851, The New York Times berkembang menjadi koran termasyhur. Pengaruh wibawanya bukan hanya sebatas di Amerika, tapi merambah luas hingga seantero dunia. Nama Times menjadi jaminan kualitas. Dan itu terbukti.
Di Amerika ada penghargaan Pulitzer. Sebuah penghargaan yang hanya khusus diberikan bagi pers di negeri itu. Sejak pertama kali penilaian dilakukan pada 1917, The New York Times telah mendominasi peraihan penghargaan tersebut. Hingga 2004 saja, Times telah berhasil menerima 90 buah penghargaan Pulitzer.
Kalau mau dirata-rata, artinya saban tahun Times menggondol prestasi paling berharga di pers Amerika. Nama koran The New York Times makin moncer saja. Dengan kata lain, reputasi para pengasuh redaksinya tak perlu diragukan lagi. Setidaknya itu sebelum April 2003.
Tapi apa lacur. Bangunan kredibilitas Times yang demikian agung itu mendadak rontok oleh ulah Jayson Blair, si wartawan muda yang baru dipromosikan. Siapa nyana kalau anak energik ini, ternyata pecundang besar yang bikin geram seisi redaksi. Dalam sekejap nama besar Times tercoreng berada di titik nadir. Memang aib apa yang sudah diperbuat Blair?
Lewat buku “The New York Times: Menulis Berita Tanpa Takut atau Memihak” yang ditulis Ignatius Haryanto, kita bisa memperoleh jawabannya. Dalam lembaran buku tipis (119 halaman) ini terjabar kerusakan reputasi dan langkah Times untuk mencuci bersih noda busuk yang ditinggalkan Blair.
Blair, rupanya pembohong lihay. Dia sudah berhasil mengelabui para redakturnya yang notabene langganan penghargaan Pulitzer. Tanggal 2 Januari 2003, Blair menulis profil Roger Groot. Dalam berita, profesor hukum dari Universitas Washington dan Universitas Lee di Virginia ini, digambarkan sebagai sosok profesor berkepala plontos yang tampak seperti pengacara dari dunia film. Padahal dalam kenyataannya Groot tidak botak. Belakangan diketahui, Blair hanya melakukan wawancara lewat telepon saja. Dia terbukti telah menyorongkan deskripsi fisik narasumbernya secara sangat tidak akurat.
Dalam tulisan lain, Blair mengetengahkan Salemo, Kepala Keuangan Museum Benda Tradisional Amerika. 20 Oktober 2001 berita itu muncul di Times. Di dalam berita tertera keterangan Salemo mengatakan museumnya sudah ada dalam kondisi keuangan yang kritis sebelum kejadian 11 September (peristiwa Selasa Kelabu atau Serangan 11/9). Belakangan muncul protes Salemo ke redaksi. Dia memastikan tidak pernah diwawancarai Blair!
Keterkejutan serupa dialami Pete Mahoney. Direktur asosiasi atletik di Kent State University ini juga pernah jadi korban Blair. Sebelumnya, Times memberitakan program divisi 1 football telah mengakali aturan yang ada untuk dapat memenuhi persyaratan NCAA tentang kehadiran minimal. Dalam salah satu paragraf tulisannya Blair mengungkap bahwa Mahoney mengaku pihaknya juga bakal melakukan hal serupa untuk mengakali aturan yang ada.
Realitasnya, Mahoney tidak pernah diwawancarai. Blair disebut hanya pernah meninggalkan pesan di mesin penjawab telepon sehari sebelum berita dirilis. Tanpa ada jawaban apapun dari Mahoney, Blair sudah menuliskannya dan kemudian dimuat Times.
Peristiwa puncak yang paling membikin geram jajaran redaksi Times muncul pada April 2003. Seisi kantor The New York Times seperti sedang menerima kejutan “April Mop” dari Blair. Tak tanggung-tanggung, Blair telah menghujamkan skandal berita palsu ke wajah media bereputasi besar tersebut.
Sebelum deadline, Blair merampungkan beritanya. Dia mengisahkan pengalaman Jessica D. Lynch, tentara perempuan Amerika yang ditawan tentara Irak saat Amerika menginvasi negara itu pada awal 2003. Berita yang digadang-gadang bakal menarik perhatian pembaca itu kiranya justru menjadi malapetaka bagi Times.
Sesaat koran The New York Times beredar, sebuah surat kabar lokal di negara bagian Texas mencurigai laporan Blair telah menjiplak berita wartawan mereka. Tak butuh waktu lama, skandal ini langsung menjadi buah bibir di Negeri Paman Sam. Reputasi Times mendadak runtuh. Wibawanya tercabik-cabik berserakan.
Buntutnya, internal Times langsung membentuk tim investigasi. Puluhan artikel Blair dicermati. Tim juga menelusuri mengapa berita-berita Blair selama ini bisa lolos dan dimuat. Para editor yang menangani tulisan-tulisan Blair ikut diperiksa. Hasilnya menunjukkan, dari 73 artikel yang diperiksa 10 di antaranya berita bohong. Blair dijatuhi sanksi. Tanpa ampun dia dipecat.
Sementara internal Times langsung berbenah. Melakukan koreksi total. Mereka segera menyampaikan permohonan maaf secara terbuka. Lalu mengganti sejumlah redaktur dan kemudian membentuk kelembagaan publik editor. Sebuah lembaga yang dikhususkan untuk menampung berbagai keluhan publik yang berkaitan dengan pemberitaan Times. Internal juga menambah pasal pada aturan Kode Etik redaksi untuk mengantisipasi tindakan memalukan di kasus Blair tidak terulang lagi.
The New York Times memang sempat merana akibat skandal Blair. Pengalaman dan reputasi ratusan tahun media ini seperti berada di ujung tanduk. Tapi langkah yang diambil pihak internal kiranya mampu meyakinkan publik bahwa Times masih layak dipercaya. Bahkan demi sebuah kredibilitas, Pemred Howell Raines yang pernah mempromosikan Blair pun tak segan mengundurkan diri. Padahal reputasi jurnalistiknya tak perlu diragukan lagi. Ia telah mempersembahkan 7 penghargaan Pulitzer bagi Times.(*)