Bandarlampung (Netizenku.com): Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung mencatat tingkat partisipasi pemilih di 8 kabupaten/kota se-Lampung yang mengikuti Pilkada Serentak Tahun 2020 mencapai 74,31 persen. Tingkat partisipasi ini masih di bawah target nasional sebesar 77,5 persen.
Namun pencapaian ini patut diapresiasi mengingat Pilkada Serentak 2020 dilangsungkan pada masa pandemi Covid-19 karena bila dibandingkan dengan Pilkada 2015, tingkat partisipasi mengalami peningkatan sebesar 4,77 persen.
Dari 8 kabupaten/kota yang menggelar pilkada terdapat dua daerah yang tingkat partisipasi pemilih melebihi target nasional 77,5 persen yaitu Kota Metro 85,74 dan Kabupaten Pesisir Barat 84,04 persen.
Sementara 6 daerah lainnya yakni Kabupaten Pesawaran (74,96), Waykanan (74,79), Lampung Tengah (70,75), Lampung Timur (70,22), Lampung Selatan (64,77) dan Kota Bandarlampung (69,17) persen.
Dosen FISIP Universitas Lampung, Arizka Warganegara PhD, mengatakan penilaian demokrasi atau assessment democracy di setiap penyelenggaraan pilkada tidak hanya bergantung pada partisipasi politik.
\”Kita harus berubah menilai pilkada itu jangan lagi hanya dengan satu indikator. Selama ini kan kalau partisipasinya tinggi berarti pilkada berhasil,\” kata Arizka Warganegara, Sabtu (30/1) sore, dalam Diskusi Daring tentang \”Pasca Keputusan MA dan Evaluasi Pilkada Kota Bandar Lampung Tahun 2020\”.
Penilaian demokrasi tidak hanya dari people center based activities atau tingkat partisipasi pemilih tapi juga dinilai dari penyelenggara dan peserta pilkada.
Arizka mengaku agak terkesan dengan situasi Pilkada Kota Metro, dengan margin yang tidak terlalu jauh tapi Pilkada Metro dianggap sebagai pilkada yang paling kondusif.
\”Padahal kalau dilihat dari potensi untuk berdebat dalam tanda kutip, persoalan-persoalan pelanggaran di sana punya potensi yang sangat tinggi sekali,\” ujar dia.
Dia menilai situasi kondusif di Kota Metro disebabkan adanya kesadaran elit para peserta pilkada.
\”Ini yang tidak kita temukan di daerah-daerah lain selain di Metro. Menurut saya ini hal yang harus kita rumuskan bagaimana penilaian terhadap demokrasi di Bandarlampung secara khusus dan Lampung pada umumnya, formatnya harus diubah.\”
\”Jangan lagi di voter center based activites (partisipasi) tapi bagaimana penilaian demokrasi itu juga masuk pada evaluasi menilai penyelenggara dan peserta,\” kata dia.
Arizka Warganegara yang juga tergabung dalam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) Lampung ini mengatakan evaluasi terhadap penyelenggara dilakukan secara berjenjang dan berkala.
\”Evaluasi itu bisa berjenjang misalkan KPUD dievaluasi oleh KPU RI bahkan ada rapor setiap triwulan atau satu tahun. Ini penting juga karena ketika SDM penyelenggara itu baik, penyelenggaraan pilkada juga akan bisa dimaksimalkan hasilnya,\” kata dia.
Kemudian evaluasi penyelenggara juga perlu dinilai dari dinamika aktor. Ini menjadi pertimbangan ke depan, bagaimana penyelenggara dipilih dari SDM-SDM yang memang paham aturan dan paham konteks.
\”Evaluasi penyelenggara ini juga terkait dengan prosedural evaluator melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP),\” ujar Arizka.
Anggota KPU Provinsi Lampung Antoniyus Cahyalana saat dihubungi Netizenku mengatakan KPU Provinsi melakukan evaluasi pilkada setiap selesai tahapan penyelenggaraan.
\”Setiap kegiatan dan tahapan pasti akan ada evaluasi, monitoring, dan supervisi. Kita ada agenda rutin rapat mingguan, banyak yang sudah dievaluasi,\” ujar Antoniyus.
Dia mencontohkan ketika tahapan pendaftaran pencalonan peserta yang banyak melibatkan massa pendukung dan melanggar Protokol Kesehatan Covid-19.
\”Maka kami langsung evaluasi dan kegiatan-kegiatan selanjutnya tidak boleh lagi. Jadi tidak mesti menungu pilkada selesai,\” kata dia.
Evaluasi dan supervisi juga dilakukan terhadap jajaran penyelenggara KPU Kabupaten/Kota. \”Kalau muncul masalah kami bisa langsung melakukan supervisi. Monitoring dan bila perlu evaluasi,\” ujarnya. (Josua)