Bandarlampung (Netizenku.com): Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, menyampaikan peran media dalam mencegah dan memerangi informasi hoaks pada Pemilu dan Pemilihan.
KPU RI mengundang AJI Indonesia dalam Webinar Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan Seri Kelima: Teknik dan Metode Identifikasi Berita Hoaks Dalam Pemilu dan Pemilihan, Jumat (8/10).
Sasmito menggarisbawahi perbedaan berita dan informasi, bahwa berita tidak boleh bohong karena berita sebuah karya jurnalistik.
Mulai dari perencanaan redaksi, penggalian fakta, ada proses verifikasi yang sangat mendalam.
“Ketika teman-teman menemukan sebuah fakta di lapangan, dicek dengan reportase ke lapangan, kemudian diverifikasi dengan narasumber yang berbeda dengan data dan wawancara,” kata dia.
Baca Juga: Pakar UGM Ungkap Cara Deteksi Hoaks Pemilu dan Pemilihan
Sasmito menegaskan yang bisa disebut sebuah kebohongan seharusnya sebuah informasi tapi berita tidak tepat didefinisikan sebagai hoaks.
“Hoaks adalah berita bohong? Saya pikir lebih tepat adalah informasi palsu atau bohong karena cukup berbeda proses kerjanya,” ujar dia.
Kemudian jurnalis juga mempunyai kode etik jurnalis yang harus dipatuhi ketika bekerja.
“Berbeda dengan informasi, semua orang bisa menyebarkan informasi, mediumnya bisa di Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, dan sebagainya. Di era digital sekarang, semua orang bisa menjadi penyebar informasi tapi belum tentu penyebar berita,” kata dia.
Informasi yang menyebar di media sosial, ujar Sasmito, belum tentu ada proses verifikasi, bisa jadi informasi yang disampaikan palsu dengan tujuan tertentu.
Bahkan, lanjut Sasmito, jurnalis yang melakukan framing tidak bisa lepas dari sebuah fakta.
“Apalagi menjelang pemilu, biasanya banyak sekali informasi palsu yang kemudian menyebar dengan cepat di masyarakat,” ujar dia.
Sasmito menjelaskan proses penyelesaian sengketa di antara keduanya juga berbeda ketika informasi atau berita merugikan penyelenggara pemilu, pasangan calon, atau masyarakat umum.
“Lembaga publik bisa mengadukan ke Dewan Pers ketika merasa dirugikan. Nanti Dewan Pers yang akan menguji, apakah karya jurnalistik yang dihasilkan melanggar kode etik atau tidak,” kata dia.
Sasmito melanjutkan ketika Dewan Pers memutuskan informasi atau berita yang dihasilkan oleh media bukan karya jurnalistik maka bisa diselesaikan dengan undang-undang lainnya, KUHP dan ITE.
Sasmito menuturkan, di 2018 AJI bekerja sama dengan MAFINDO, AMSI, dan didukung Google News Inisiatif, Internews meluncurkan platform Cek Fakta yang didukung 22 media di Indonesia.
“AJI sudah melatih hampir 2.000-an pengecek fakta di berbagai daerah yang tersebar di beberapa media. Mereka melakukan pengecekan fakta secara mandiri atau kerja-kerja kolaboratif,” ujar dia.
Publik bisa mengadukan ke Cek Fakta untuk kemudian ditelusuri dan hasilnya dipublikasikan di media masing-masing.
Ketika Pemilu 2019, tutur Sasmito, AJI juga melakukan kerja kolaborasi pada saat debat kandidat.
Para pengecek fakta melakukan kerja kolaborasi terhadap hal-hal yang disampaikan kandidat.
“Itu dicek secara langsung dan masyarakat bisa melihat, apakah yang disampaikan kandidat, betul atau bohong, atau keliru,” kata dia.
Pengecekan fakta ini bisa diduplikasikan di daerah dengan dukungan KPU. Kolaborasi bersama media-media daerah dan nasional pada pilkada serentak.
“Jadi edukasi terhadap publik bisa dilakukan dengan cepat,” ujar dia.
Namun, lanjut dia, jurnalis juga mendapatkan tantangan ketika melawan hoaks yang beredar di masyarakat.
Pertama, media sulit melakukan diseminasi secara cepat dan meluas kepada masyarakat.
Kedua, hoaks yang marak. Ketiga, deepfake sebuah video rekayasa yang dibuat oleh kecerdasan buatan dengan teknologi canggih. Gambar dan suara terdengar seperti aslinya.
“Tantangan ke depan akan semakin sulit, karena hoaksnya bukan dalam bentuk gambar dan tulisan,” kata dia.
Keempat, stempel hoaks sembarangan.
“Dari yang kami pantau, ini muncul di era pandemi. Ada beberapa berita yang sudah terkonfirmasi dan dihasilkan proses kerja jurnalistik, kemudian distempel hoaks oleh kepolisian,” ujar dia.
Sasmito menyarankan lembaga negara yang menemukan berita yang keliru atau tidak tepat, sebaiknya tidak distempel hoaks tapi melaporkan ke Dewan Pers.
AJI Indonesia merekomendasikan perlu ada literasi media. Publik perlu membedakan antara media atau pers dengan media sosial.
Kemudian perlu ada kolaborasi cek fakta. Ketika masyarakat menemukan informasi yang dianggap bohonh bisa menyampaikan melalui platform cekfakta.com.
Selanjutnya, publik perlu kembali ke media massa untuk mendapatkan informasi yang baik dan valid, bukan di media sosial.
Terakhir, jaminan akses internet. “Belajar dari kasus di Papua pada 2019, terjadi pemutusan akses internet di tengah kerusuhan. Kami kesulitan melakukan verifikasi dan menyebarkan hasil cek fakta,” kata dia.
“Kalau mau memerangi hoaks perlu ada jaminan akses internet yang merata di berbagai wilayah,” tutup dia. (Josua)