Bandarlampung (Netizenku.com): Setelah rehat beberapa hari, pertemuan pertama sesi kedua Kuliah Ramadhan (Kurma) II 2018 oleh Kelompok Studi Kader (Klasika) akhirnya digelar. Setelah menghadirkan akademisi dari Universitas Malahayati dan Universitas Lampung, kini Klasika menghadirkan Akademisi Hukum dari UIN Raden Intan, Siti Mahmudah.
Puluhan peserta yang mengikuti kegiatan tersebut, membahas “Historisitas Syariah” yang dikemas dengan baik oleh Siti Mahmudah. Acara yang telah sukses terselenggara dengan baik ini, dimulai pada pukul 16.00 WIB dan diakhiri dengan buka puasa bersama antara peserta dan narasumber.
Penanggung Jawab Program Klasika, Een Riansah mengatakan, historisitas syariah merupakan hal yang penting dibahas oleh pemuda, mengingat banyaknya umat yang ikut-ikutan dalam menjalankan amalan dan tidak mengetahui dasar hukumnya.
\”Jarang sekali masyarakat yang paham tentang historisitas syariah, padahal ini penting agar kita tidak menjadi umat yang ikut-ikutan,\” ujar Een dalam sambutan di Rumah Idiologi Klasika, Jalan Sentot Ali Basa, Gang Pembangunan A5, Sukarame, Bandarlampung, Kamis (7/6) sore.
Een juga mengatakan, bahwa Siti Mahmudah merupakan salah satu dari sedikit orang yang mendukung berdirinya Kelompok Studi Kader Klasika. “Pada saat awal berdiri Ibunda Siti Mahmudah adalah salah satu dari sedikit orang yang mendukung berdirinya Klasika,” pungkas Een.
Beranjak dalam acara diskusi, Siti Mahmudah menjelaskan bahwa memahami Islam secara tekstual merupakan salah satu penyebab munculnya tindak radikalisme. \”Pemahaman Islam yang mengidentikan dengan Arab dan murni merupakan salah satu penyebab muncul tindak terorisme,\” jelasnya.
Ia juga menerangkan, bahwa Islam itu tidak murni, ajaran Islam dipengaruhi budaya Ara. \”Islam itu tidak murni, ia turun dipengaruhi budaya Arab kala itu. Inilah mengapa banyak yang mengidentikan Islam dengan Arab padahal tidak. Dan ketika Islam hadir di Indonesia atau yang dahulu kala dikenal dengan nama Nusantara, hal itu pun pastinya kan terjadi. Tak perlu mencari hal yang sulit, dari segi pakaian saja antara orang Arab dan Indonesia sudah berbeda. Disinilah hebatnya Islam, bisa sesuai dengan geografis, iklim dan budaya manapun,” pungkasnya.(Agis)