Tanggamus (Netizenku.com): Pengadilan Negeri Kelas II Kabupaten Tanggamus kembali menggelar sidang kasus pembunuhan terhadap bos Dede cell Gisting yang terjadi pada Juli tahun 2021 lalu, Kamis (19/5).
Persidangan yang mulai digelar pukul 13.00 WIB sampai pukul 20.30 WIB tersebut, beragendakan sidang mendengarkan keterangan saksi meringankan kedua terdakwa, serta mendengar keterangan saksi ahli hukum pidana yang di hadirkan oleh tim penasehat hukum.
Sidang dipimipin Ari Qurniawan sebagai hakim ketua dan Zakky Ikhsan Samad sebagai hakim anggota I. Serta Murdian sebagai hakim anggota II
Sementara di barisan tim penasehat hukum kedua terdakwa nampak tiga orang yakni Wahyu Widiyatmiko, Endy Mardeny dan Akhmad Hendra. Sedangkan untuk jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kotaagung adalah Astrid Nurul Pratiwi dan Dinda.
Untuk saksi meringankan kedua terdakwa ada 6 orang yang dihadirkan tim penasehat hukum dalam persidangan kali ini, yakni Nazrul Huda, Ikhsan Eksandi, Anis Kafitri, S Pratama Wibawa Putra, Aldi Yanto dan Agus Andi Wijaya. Sedang untuk keterangan Ahli hukum pidana dihadirkan Eddy Rifai selalu dosen Universitas Lampung (Unila).
Ditemui usai persidangan, Eddy Rifai mengatakan, jika alat bukti elektronik tidak ada dalam Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Karena tidak diatur dalam KUHAP, maka jelas alat bukti elektronik ini tidak dapat digunakan sebagai alat bukti tindak pidana konvensional seperti KUHP, dan alat bukti elektronik baru dapat digunakan sebagai alat bukti pada tindak kejahatan white-collar, dalam hal diatur dalam undang-undang tersebut seperti, UU ITE, UU Narkotika, UU Terorisme, UU TPPU, UU Tipikor, dan lain-lain, sementara dalam persidangan yang saya dihadirkan ini salah seorang terdakwa yakni Syahrial Aswad menurut saya, ia (Syahrial Aswad-red) dijadikan sebagai tersangka oleh penyidik adalah berdasarkan CCTV. Sedangkan CCTV yang dijadikan alat bukti itu sendiri bukan yang asli, tapi hasil rekaman atas CCTV. Dan di dalam KUHAP sendiri alat bukti elektronik ini tidak ada, yang ada itu hanya saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan tersangka,” kata Eddy.
Menurut dia, jika CCTV tetap akan dijadikan alat bukti, dalam UU ITE telah jelas diatur bahwa harus ada syarat formil maupun materil.
“Syarat formilnya adalah dia harus dijamin keontetikannya, kelengkapannya dan ketersediaannya, dan harus didasarkan dari ahli forensik, baru dia bisa dijadikan alat bukti elektronik,” jelasnya.
Dan jika mengacu pada KUHAP, Sambung Eddy Rifai, rekaman CCTV tidak sah untuk dijadikan alat bukti.
“Kalau ketentuan KUHAP alat bukti cctv itu tidak sah, tapi apabila hakim akan menjadikan itu sebagai bukti petunjuk, bisa, tapi keputusan CCTV ini dijadikan sebagai bukti petunjuk ada pada hakim, bukan keputusan penyidik. Kan di pasal 188 ayat 3 KUHAP menyatakan bahwa penilaian bukti petunjuk itu ada pada hakim bukan penyidik. Dan dalam hakim memutuskan CCTV ini sebagai petunjukpun, harus dengan berdasarkan laboratorium forensik baru hakim bisa pakai itu sebagai bukti petunjuk,” tegas Eddy.
Lebih lanjut, Eddy Rifai menjelaskan, asas hukum in dubio pro reo, dalam kaitan suatu perkara yang minim pembuktian dan terdapat saksi a decharge yang menjadi alibi terdakwa tidak berada ditempat kejadian perkara.
“Pasal-pasal KUHAP tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan, biasa diatur didalam pasal 183 sampai 202 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak Pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Menurut keyakinan tersebut seyogyanya keyakinan hakim harus sesuai asas hukum in dubio pro reo. Menurut kamus hukum yang ditulis oleh Simorangkir, frasa in dubio pro reo diartikan sebagai, jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal, haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa,” katanya.
Asas In dubio pro reo sendiri sambungnya, sudah sering digunakan oleh Mahkamah Agung untuk memutus perkara.
“Diantaranya dalam putusan MA No. 33 k/MIL/2009 yang salah satu pertimbangannya menyebutkan bahwa asas In dubio pro reo yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan. Dan di Pasal 191 KUHAP menyatakan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas,” jelas Eddy Rifai.
Sementara itu, penasehat hukum terdakwa, Wahyu Widiyatmiko, menjelaskan pertanyaan terhadap saksi ahli adalah terkait dengan pasal 184 KUHAP, alat bukti, pasal 56 terkait pendampingan, wajib didampingi penasehat hukum, dan terkait dengan penyitaan barang bukti.
“Kenapa ini kita tanyakan kepada saksi ahli, karena fakta di persidangan bahwa satu alat bukti berupa motor tidak pernah dipergunakan oleh terdakwa Bakas Maulana untuk melakukan tindak pidana, dan menurut saksi ahli bahwa itu melanggar yang diatur dalam UU, bahwa penyidik tidak berhak untuk melakukan penyitaan,” kata Wahyu.
Selain itu lanjut Wahyu, motor yang disita oleh polisi hingga saat ini tidak ada berita acara penyitaannya, atau tanda bukti penyitaan. Kemudian terkait dengan CCTV, bahwa yang menyatakan terdakwa Syahrial Aswad sebagai pelaku adalah saksi dari keluarga korban bukan ahli dari forensik. Sementara sesuai dengan UU ITE dan menurut ahli, keterangan tersebut tidak sah karena bukan dari ahli forensik,” tandas nya.(Arj)