Di berbagai kota di provinsi lain, terutama di Pulau Jawa, tidaklah mengherankan bila melihat warga berkumpul atau nongkrong di sebuah taman yang disebut alun-alun sebagai ruang publik.
Namun, apakah Anda pernah melihat hal serupa di Kota Bandarlampung?
Banyaknya anak muda yang nongkrong di pinggir jalan membuktikan bahwa Bandarlampung belum dapat menyediakan ruang publik yang memadai bagi masyarakatnya untuk melepas penat setelah berkegiatan seharian.
Jika Anda kurang yakin dengan pendapat penulis, cobalah tengok jalan-jalan di sepanjang jalan protokol arah terminal Rajabasa.
Trotoar dan tepat diatas underpass di arah Kampus Unila dipenuhi kaum muda yang nongkrong.
Bukan hanya trotoar dan bahu jalan, minimarket yang menyediakan kursi untuk duduk pun setiap malam “laris” didatangi kaum muda yang nongkrong setelah seharian penat bekerja.
Fenomena ini tidak lepas dari gaya hidup generasi Z untuk bersosialisasi dan melepas penat setelah seharian beraktivitas.
Meskipun terkesan sederhana, momen nongkrong ini menjadi alternatif hiburan murah meriah bagi para remaja untuk berkumpul dan bercengkerama dengan teman-teman.
Namun, di balik tren ini, Saya menganggap terdapat ironi tersendiri. Kurangnya ruang publik yang nyaman dan terjangkau bagi kaum muda di Bandarlampung mendorong mereka mencari alternatif lain.
Taman Gajah, yang dulu menjadi salah satu tempat nongkrong, kini telah “disulap” menjadi Masjid Raya Provinsi Lampung, sehingga membuat keberadaan ruang publik semakin minim di Bandarlampung.
Transformasi taman itu membuat ruang publik yang ramah anak muda semakin berkurang. Padahal dahulu, Taman Gajah seperti surga ruang publik yang dikunjungi oleh warga Bandarlampung.
Mereka dapat berolahraga, kongkow bareng keluarga, atau hanya sekadar menghabiskan waktu nongkrong bareng teman.
Taman Gajah juga ramah terhadap anak-anak untuk bermain. Menjadi alternatif orang tua mengajak anak bermain, melepaskan kebiasaan memainkan gadget.
Sayangnya tempat berkegiatan warga itu telah tiada. Terbatasnya pilihan tempat nongkrong yang aman dan nyaman mendorong generasi Z untuk memanfaatkan ruang-ruang publik yang ada, meskipun sebenarnya tidak ideal dan membahayakan.
Trotoar yang sejatinya diperuntukkan bagi pejalan kaki dan underpass yang memiliki potensi bahaya mengintai, kini dialihfungsikan menjadi tempat nongkrong.
Fenomena itu tidak hanya mengganggu kenyamanan pengguna jalan lainnya tetapi juga membahayakan keselamatan para remaja yang nongkrong di atas underpass.
Beruntungnya hingga saat ini belum tersiar kabar di media massa menyoal insiden nahas remaja nongkrong terjatuh dari atas trotoar.
Menurut penulis, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung harus dapat menangkap apa yang diinginkan warganya.
Menciptakan taman ideal sebagai ruang publik sangatlah penting. Atau Pemkot sedang menunggu berita kejadian nahas terjadi, baru mereka bertindak?. (Luki)