Waduh, kabar ini bikin orang senyum sendirian kayak nemu duit receh di saku celana jeans lama. Tapi serius, hati hangat banget. Mata berbinar. Mulut nggak bisa diem bilang, “Astaga, desa kita ternyata keren abis!”
Negeri Ratu Tenumbang (Netizenku.com): Bumi Lebu, Pekon Negeri Ratu Tenumbang, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, bagian dari Marga Tanumbang, resmi masuk 10 Desa Aktivasi Pemajuan Kebudayaan Nasional 2025. Dari 300 desa, cuma sepuluh yang lolos. Dan satu-satunya dari Sumatra bagian selatan? Ya ini dia, desa kecil tapi hati sebesar drum ikan di pasar!
Prestasi ini lahir dari hal-hal sederhana: tetua adat yang hafal cerita leluhur lebih cepat daripada hafal password Wi-Fi. Anak muda yang nggak mau budaya cuma jadi pajangan TikTok. Ibu-ibu yang masak hidangan adat sambil bilang, “yang penting rasa tetap mantap, jangan sampai nenek nangis di kuburan.” Bapak-bapak? Sibuk beresin panggung sambil nyeletuk, “yang penting rapi, bro. Budaya kita jangan sampai kayak mie instan setengah mateng.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanggal 1–2 Desember 2025, desa bakal berdenyut lebih kencang. NGEJALANG FEST datang dengan tema “Tayuh Budaya Pesisir”. Ini bukan sekadar festival. Ini kayak reuni keluarga besar tapi pulangnya ke jati diri sendiri. Tradisi hidup, bernapas, kadang suka joget kalau mood-nya lagi oke.
Pemuda sibuk nyiapin lampu, backdrop, panggung. Ada yang latihan tari sambil salah gerak, ketawa sendiri. Ada yang salah pantun tapi tetep pede. Ibu-ibu bikin kue tradisi yang wanginya bisa bikin lupa mantan. Para seniman mengulang gerakan lama yang dulu cuma mereka lihat pas kecil. Semua santai tapi penuh rasa. Kayak bilang, “Santai bro, yang penting tulus.”
Yang bikin tambah gokil: Bumi Lebu nggak cuma jaga budaya lama, tapi bikin inovasi. Musik tradisi dicampur efek kekinian, tarian adat diperhalus tapi tetep sakral. Kerajinan tangan lebih rapi, instagramable, tapi tetap pakai tangan warga yang sabarnya kayak nunggu sinyal 4G di hutan. Budaya di sini bukan cuma warisan, tapi semacam bensin semangat hidup.
Dukungan warga ngalir kayak teh manis panas pagi hari. Tetua ngasih wejangan. Anak muda kerja total. Pemerintah desa kasih ruang. Komunitas buka waktu dan hati. Semua kayak naikin perahu besar bareng-bareng, kadang sambil saling dorong dan ketawa sampe perut kram. Gotong royong di Bumi Lebu bukan cuma fisik, tapi hati.
Lewat Pekan Kanikan & Lomba Nganyam Sambil Joget, budaya nggak cuma dipamerin. Budaya mulai menghidupi. Makanan tradisi laku, anyaman jalan, hasil laut naik, kerajinan terjual. Warga bilang sambil senyum, “Oalah, ternyata budaya nggak cuma buat dilihat, tapi juga buat bikin dompet tebal.”
Perjalanan menuju top 10 nggak gampang. Dari Aceh, dari lokakarya Daya Desa bulan Juli, 150 desa disaring sampai tinggal sepuluh. Saat nama Bumi Lebu – Negeri Ratu Tenumbang – Pesisir Selatan – Pesisir Barat – Marga Tanumbang dipanggil, banyak yang diem sebentar. Ada yang senyum sambil ngusap mata. Ada yang telepon tetangga sambil bilang, “Kita kepilih, Ling! Desa kita kepilih!”
Sekarang kabar Bumi Lebu menyebar pelan tapi pasti. Kayak ombak yang pelan tapi pasti ngapus jejak di pasir. Ceritanya sederhana tapi maknanya dalam: budaya itu bukan soal besar atau kecil. Budaya itu soal siapa yang menjaganya.
Dari pesisir Tanumbang, suara itu terdengar jelas:
“Kami mungkin di ujung peta, tapi nggak pernah kehilangan arah.”
“Kami mungkin kecil, tapi cinta kami gede banget.”
“Kami Bumi Lebu. Budaya kami hidup, bakal terus dijaga. Santai tapi serius, guys!”
Pesan moralnya? Jaga budaya itu nggak harus ribet. Cukup tulus, kerja bareng, kadang sambil ketawa sampai perut kram. Karena budaya hidup kalau hati ikut bergerak. (*)








