Bandarlampung (Netizenku.com): Hari Anak Indonesia yang diperingati pada 23 Juli 2018 lalu dikejutkan dengan kabar divonisnya seorang anak perempuan asal Jambi yang menjadi korban pemerkosaan incest (sedarah) dari kakaknya sendiri.
Remaja berinisial WA (15 Tahun) itu divonis bersalah karena melakukan aborsi dan melanggar pasal 77 juncto pasal 45 A UU Perlindungan Anak. Kasus ini merupakan persoalan yang harus ditelaah dalam konteks pemenuhan Hak Anak Berhadapan Hukum (ABH), baik sebagai korban sekaligus pelaku. Dalam perkara ini, anak diposisikan sangat lemah untuk menolak, melawan dan mengadukan kekerasan seksual yang dialaminya.
Kasus ini menyita banyak pihak, tak terkecuali Garnita Nasdem Lampung. Sekretaris DPW Garnita Nasdem Lampung, Vony Reyneta Dolok Saribu menilai vonis terhadap WA dan ibunya tidak adil. Putusan ini menunjukkan hakim tidak mempunyai perspektif terhadap anak korban kekerasan seksual dan hak perempuan atas kesehatan reproduksi. Sebagai korban perkosaan seharusnya ia mendapatkan haknya untuk mendapatkan penanganan aborsi yang aman yang dilakukan sesuai dengan UU Kesehatan, yakni dilakukan melalui proses konseling pra dan pasca tindakan dengan konselor yang kompeten (Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan).
“Dalam kasus WA, hak-hak korban ini sama sekali tidak terpenuhi, justru yang terjadi WA dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan aborsi tidak sesuai dengan prosedur. Posisi WA sebagai anak yang mengalami trauma harusnya dibantu untuk mengakses hak-hak kesehatan reproduksinya. Kondisi ini harusnya menjadi keprihatinan bersama khususnya bagi pihak-pihak terkait yang memiliki tanggung jawab, bukan malah memberikan dukungan atas kriminalisasi anak korban,” ujar Calon Legislatif Provinsi Lampung Dapil 3 Nomor 5 itu.
Vony juga menyayangkan pernyataan salah satu komisioner KPAI di salah satu media massa nasional jika korban mengaborsi tidak sesuai dengan standar, maka pidananya setengah dari hukuman orang dewasa. Ditambah lagi dengan proses peradilan yang dialami WA karena sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban. Majelis Hakim belum mengacu pada Peraturan Mahmakah Agung RI No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Selain itu, karena korban adalah aeorang anak, yang penanganannya harus mengacu pada UU PA. Dalam konsideran tentang Peradilan Anak, menjelaskan Perlindungan anak sangat penting, terutama dalam proses peradilan anak agar walaupun anak sedang menjalani proses peradilan, anak tetap memperoleh hak-haknya sebagai seorang anak yang dilindungi oleh negara. Hak-hak anak sebagai korban antara lain hak untuk mendapatkan bantuan hukum, pemulihan dari trauma serta rehabilitasi psikososial.
“Dalam kasus WA, WHO pun menilaikematian bayi yang dihasilkan dari perkosaan merupakan salah satu bentuk fatal dari kekerasan seksual, dimana korban tidak mendapatkan haknya atas penegakan hukum dan pemulihannya,” tegas wanita yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Perempuan, Anak dan Kesehatan DPW NasDem Lampung itu.
Mantan Direktur LBH Apik ini juga menyatakan prihatin mengenai tontonan video porno yang menjadi penyebab si kakak melakukan pemerkosaan, hal itu juga harus dikritisi sebagai ancaman terhadap penetrasi budaya kekerasan terhadap anak perempuan yang ironisnya terjadi di lingkungan keluarga terdekat. Untuk itu, ia mendesak segera dilakukannya pembahasan dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan seksual agar tidak semakin banyak korbanpemerkosaan mendapatkan ketidakadilan dan tidak akan ada lagi yang menjadi korban serupa.
“Memang kasus ini tidak terjadi di Lampung, tapi tidak menutup kemungkinan ada kejadian serupa. Kita harus peduli agar tidak ada lagi anak perempuan lain yang mengalami nasib seperti WA,” kata Vony. (Red)