Bandarlampung (Netizenku.com): Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dengan luas kurang lebih 125 ribu hektar dikelilingi 38 desa penyangga di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Timur.
Permasalahan utama dalam pengelolaan TNWK adalah berkurangnya habitat dimana kebakaran hutan menjadi penyebab utama yang terjadi hampir setiap tahun selama dua dekade semenjak 1980-an.
Kebakaran hebat pernah terjadi di 1997 menghabiskan hampir 70 persen wilayahnya. TNWK berupaya melakukan reforestasi sejak 2010 di empat lokasi kawasan TNWK yaitu Mataran Bungur, Bambangan, Sandat, dan Susukan Baru.
Data Balai TNWK menyebutkan aktifitas perlindungan dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melibatkan masyarakat di sekitar melalui Masyarakat Mitra Polhut (Polisi Kehutanan), penanaman tumbuhan pionir dan tumbuhan tahan pai, pemeliharaan tanaman dan pengurangan pertumbuhan alang-alang, serta pelibatan dan pelatihan masyarakat untuk bekerja di Program Reforestasi.
Sejak 2010, ada beberapa areal reforestasi yang sudah dilakukan, di Bungur SPTN II seluas kurang lebih 100 hektar dengan penanaman tumbuhan pionir, serta pakan gajah. Sekat kanal juga dilakukan di Bambangan, Sandat dan Susukan Baru seluas kurang lebih 50 hektar.
Ancaman Karhutla disebut Damsir selaku Fasilitator Wilayah Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera Tengah Selatan menjadi persoalan utama yang penting untuk dilakukan penanganan cepat.
“Kalau kita amati persoalan yang penting, ancaman serius di TNWK, saat ini, adalah kebakaran hutan dan lahan. Karhutla ini berakibat terganggunya juga ruang hidup satwa kunci di sana,” ujarnya dalam temu media, Senin (21/12), di Desa Labuhan Ratu 6, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur.
Beberapa upaya dilakukan mitra yang didanai oleh TFCA juga fokus pada pengamanan kawasan, tidak hanya pada ancaman karhutla namun juga ancaman lainnya seperti perburuan, perambahan, dan pembalakan.
“Ada tim patroli ya dari teman-teman mitra, tidak hanya soal karhutla tapi juga pengamanan kawasan dan biodiversity yang ada di dalamnya. Ada juga dari Masyarakat Mitra Polhut, mereka para mitra ini melakukan kegiatan dalam kawasan. Ada yang per-15 hari, bervariasi tergantung kebutuhannya,” kata dia.
Sinergisitas dukungan para pihak dalam pengelolaan TNWK juga dilakukan dalam mekanisme pembentukan Forum Rembug Desa Penyangga yang melibatkan 24 desa di Kabupaten Lampung Timur yang akan mulai berjalan di 2021 mendatang.
TNWK dengan satwa kunci yang khas di antaranya badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatra (Elephas maximus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus) dan beruang madu (Helarctos malayanus) menjadi kebanggaan masyarakat Provinsi Lampung.
Populasi badak sumatra dinyatakan termasuk dalam kategori konservasi terancam punah (critically endangered) menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau Unit Internasional untuk Konservasi Alam.
Hasil analisis berdasarkan data yang diperoleh dari kegiatan lapangan yang dilakukan oleh ALeRT, RPU-YABI dan Patroli Resort lingkup Balai TNWK, estimasi populasi badak sumatra di TNWK pada 2019 terdapat 18-20 individu.
Data ini berdasarkan temuan ukuran tapak, jarak titik temuan dan didukung data kamera trap pada tahun 2019.
Jumlah ini di luar 7 ekor badak sumatra yang berada di pusat penangkaran badak sumatra atau Suaka Rhino Sumatra (SRS) TNWK.
Direktur Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT) Way Kambas, Arif Rubianto, menyebutkan badak sumatra paling sulit untuk diidentifikasi, karena tingkat perjumpaan yang rendah dan sampel terbatas.
\”Badak ini sangat sensitif dan kita butuh pembanding dengan yang ada di SRS, ternyata karakter morfologi, sifat dan kebiasaannya berbeda tiap individu. Memang perlu dengan cara khusus, baik melalui kamera trap, dengan software semacam artificial inteligent yang menganalisa data-data temuan di lapangan,” ujar Arif Rubianto.
Identifikasi dari cuplikan kamer trap tidak akan dapat dengan mudah untuk mengidentifikasi badak sumatera, karena jika dari cula, bisa saja patah sehingga mengalami pengecilan, dari liputan kulit juga tidak ada tanda-tanda khusus, sementara ditutupi dengan bekas kubangan sehingga jika ada bekas luka atau tanda lain di kulit tidak akan dapat terlihat jelas.
“Butuh puluhan clip dengan posisi foto yang tepat untuk identifikasinya, ada juga melalui DNA. Akan tetapi sampel yang diperoleh harus fresh. Misalnya feses harus kurang dari satu hari, urin juga harus kurang dari satu jam, rambut butuh ketelitian tinggi agar tidak tercampur sampah, darah dari bekas luka juga masih jaranglah,” lanjut Arif.
Kesulitan identifikasi individu ini juga disebut Arif menjadi salah satu tantangan dalam melakukan Rencana Aksi Darurat (RAD) Penyelamatan Badak.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam hal ini Ditjen KSDAE telah membuat rencana aksi darurat melalui Surat Keputusan Dirjen KSDAE Nomor: SK.421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018 Tanggal 6 Desember 2018 tentang Rencana Aksi Darurat (RAD) Penyelamatan Badak Sumatera tahun 2018 – 2021.
Rencana aksi penyelamatan badak sumatra di TNWK mencakup upaya penangkapan individu badak sumatera dalam kondisi produktif, dan menggabungkan badak-badak tangkapan ke dalam sarana conservation breeding atau SRS.
Tujuannya adalah untuk mempercepat pengembangbiakan badak di SRS Way Kambas serta menghindari perkawinan sedarah (Inbreeding), perkawinan ini dapat menyebabkan hilangnya keragaman genetika khususnya badak sumatra.
“RAD tetap berjalan, sesuai rencana. Tapi butuh data awal individu harus jelas, jangan sampai niatnya menyelamatkan tapi fatal bagi badaknya. Karena harus jelas individu mana yang harus ditargetkan, diselamatkan. Secara umum akan tetap jalan terus. Persoalan timnya, pelatihan peralatan dan lainnya ini juga harus diperhatikan,” jelas Arif.
RAD ini juga mendapatkan dukungan dari KEHATI melalui pendanaan TFCA Sumatera dan TFCA Kalimantan. Saat ini TFCA Sumatera Wilayah Tengah-Selatan bekerja dengan mitra di delapan taman nasional (TN) di antaranya TN Kerinci Seblat, TN Bukit Tigapuluh, TN Tesso Nilo, TN Berbak Sembilang, TN Bukit Barisan Selatan, TN siberut, TN Tesso Nilo, dan Semenanjung Kampar. (Josua)