Bandarlampung (Netizenku.com): Media sosial (Medsos) yang dikelola institusi pemerintah memiliki konsekuensi hukum. Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua Dewan Pers, Muhamad Agung Dharmajaya, saat menjadi pembicara pada diskusi publik bertema Medsos Bukan Produk Pers.
“Rekan-rekan di pemerintahan harus dapat membedakan antara informasi dengan berita,” kata Agung pada diskusi yang dihelat PWI Lampung di Golden Tulip, Kamis (27 Juli 2023).
Menurutnya, semua orang atau pihak dapat saja mengabarkan informasi melalui medsos. Tapi perlu diingat peran tersebut tidak sama kedudukannya dengan media massa di mata hukum. Sebab, informasi melalui medsos dapat digugat secara pidana. Sedangkan informasi yang dikemas sebagai berita dan disebarluaskan melalui media massa memiliki pendekatan berbeda.
“Jika ada gugatan terhadap berita di media massa jalurnya bisa diselesaikan ke Dewan Pers. Karena Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers memang mengatur itu,” jelasnya.
Sedangkan medsos yang notabene bukan perusahaan media atau media massa, tidak termasuk ke dalam ketentuan tersebut. Di sini letak tegas pembeda antara medsos dan media massa.
Berdasarkan UU Pers Bab II Pasal 3 ayat 1 disebutkan, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
“Jadi kalau media massa mempublikasikan berita, itu memang sudah diatur dan dijamin oleh Undang-Undang. Bahkan, bila ada pihak yang menghalangi pemberitaan akan berhadapan dengan konsekuensi hukum. Ketentuan seperti ini tidak berlaku untuk informasi melalui medsos. Sehingga berhati-hatilah dalam ber-medsos,” pesan Agung.
Dirinya lantas memberi contoh kasus tuntutan yang pernah merundung YouTuber Deddy Corbuzier yang muatan konten di akun YouTube-nya digugat pidana oleh seseorang. “Dewan Pers tidak dapat mendampingi lantaran akun YouTube bukan termasuk media massa,” ungkapnya.
Demikian pula, sambungnya, dengan akun medsos yang dikelola oleh instansi pemerintah. Karena berbasis medsos, maka juga rentan terhadap gugatan pidana.
“Harus bisa dibedakan antara humas instansi pemerintah yang sedang menjalankan tupoksinya sebagai public relation dengan pemberitaan. Jangan bias dan menganggap keduanya sama. Tidak. Itu dua hal yang berbeda,” tegasnya.
Agung menyarankan, untuk menghindari konsekuensi hukum yang berpotensi timbul saat memberi informasi, ada baiknya pihak humas instansi berkolaborasi dengan media massa untuk memberitakannya.
“Informasi yang disampaikan media massa melalui berita tentu telah menerapkan ketentuan yang berkesesuaian dengan Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik. Misalnya saja, akan ada konfirmasi atas informasi yang dipublikasikan. Itu peran media massa,” papar Agung.
“Tapi kalau humas instansi pemerintah menyampaikan sosialisasi di medsos mereka, lalu ada orang atau pihak tertentu yang merasa keberatan atau dirugikan dengan isi informasi tersebut, ini berpotensi dibawa ke ranah hukum,” imbuhnya.
Dirinya juga menghimbau kepada penyelenggara pemilu (KPU) Lampung dan kabupaten/kota agar turut memberi edukasi kepada partai atau calon legislatif dan calon kepala daerah agar saat bersosialisasi bisa bekerjasama dengan media massa.
“Ini penting, selain turut menata ketertiban area publik, yang mendekati pemilu biasanya dipenuhi banner sosialisasi bernuansa politik, juga demi menghindari hal-hal yang bisa saja berpotensi hukum. Keberadaan media massa sesungguhnya bisa menjalankan fungsi sosialisasi itu,” tutupnya. (Hendri Std)