Dalam politik modern, batas antara kenyataan dan rekayasa semakin kabur. Pemerintah tampil sibuk meluncurkan program, mengumumkan rencana besar, dan menampilkan grafik penuh warna. Semua itu menciptakan kesan seolah negara bergerak maju. Namun ketika masyarakat mencari perubahan nyata, yang ditemukan justru ruang kosong. Inilah politik simulasi, yakni politik yang dirancang untuk menciptakan keyakinan, bukan hasil.
Kekuasaan yang menawarkan fiksi gemar menyuguhkan janji yang hidup di dokumen. Rencana kerja disusun megah, dipenuhi jargon teknokratis, tetapi hanya menjadi dekorasi birokrasi. Ia tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan, melainkan untuk menunjukkan bahwa negara “punya arah”. Di atas kertas segalanya tampak menjanjikan, namun di lapangan langkah tak pernah benar-benar dimulai.
Fiksi kian menguat ketika pemerintah meluncurkan program atau aksi yang tidak pernah naik kelas menjadi kebijakan nyata. Program diluncurkan, dipromosikan, dan dirayakan, bahkan disebut-sebut bakal mengubah keadaan, namun kemudian lenyap tanpa evaluasi. Ia menjadi tameng retoris untuk menunda tanggung jawab.
Dalam dunia fiksi kekuasaan, data juga mengalami transformasi. Angka tidak lagi menjadi alat membaca kenyataan, tetapi alat untuk menuliskan versi kenyataan yang diinginkan. Grafik dipoles, indikator negatif dipinggirkan, dan istilah teknis digunakan untuk meredam kritik. Yang muncul bukan kebohongan langsung, melainkan penyutradaraan realitas dengan menggunakan teknik halus yang membuat ilusi tampak wajar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di ruang seperti itu, prosedur menggantikan tindakan. Rapat koordinasi, gladi bersih, simulasi darurat, dan penyusunan pedoman dilakukan berulang-ulang untuk menampilkan citra negara yang bekerja. Namun aktivitas administratif yang padat tidak menghasilkan perbaikan nyata. Yang bergerak hanyalah kertas, bukan kebijakan. Yang berjalan adalah narasi, bukan solusi.
Kekuasaan dalam dunia fiksi juga gemar memamerkan visi jangka menengah panjang. Transformasi besar, modernisasi total, dan lompatan masa depan ditulis indah dalam dokumen perencanaan. Namun visi itu tidak pernah mendekati kemungkinan untuk diwujudkan karena tidak memiliki anggaran, kapasitas birokrasi, atau komitmen politik yang memadai. Ia hidup sebagai fantasi pembangunan, bukan arah kebijakan. Publik diarahkan melihat masa depan agar tidak terlalu memperhatikan masa kini yang stagnan.
Pada akhirnya, politik simulasi adalah seni mengelola persepsi. Ketika kebijakan gagal, hadirkan rencana baru. Ketika kritik menguat, munculkan program simulatif melalui regulasi yang tidak bisa dieksekusi maksimal. Jika tekanan meningkat, bangun ilusi keberhasilan. Publik diarahkan membicarakan potensi, bukan kinerja, bukan rencana, bukan hasil, bukan realitas.
Masalah terbesar dari kekuasaan yang hidup dalam dunia fiksi bukan sekadar harapan palsu, tetapi penundaan kenyataan. Selama ilusi cukup untuk meredam kritik, kebijakan tidak perlu bekerja. Negara tampak bergerak, tetapi sebenarnya diam. Masyarakat tampak diurus, padahal dibiarkan menggantung dalam janji yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan rakyat itu bukan janji atau rencana baru, tapi perubahan yang benar-benar terasa. Jika pemerintah hanya sibuk membuat cerita tanpa menjalankan kebijakan, maka keadaan tidak akan pernah membaik. Negara terlihat bergerak, padahal sebenarnya diam. Dan selama itu terus terjadi, rakyat yang harus menanggung akibatnya.***








