Komisi Pemilihan Umum (KPU) memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pemilu. Semua kalangan mengamini itu. Pesta demokrasi bisa berjalan lancar kalau para komisionernya punya harga diri. Tapi bisa pula hajatan itu malah berantakan karena ditangani para komisioner yang tidak becus. Cuma bisa cas cis cus, lalu ujung-ujungnya cis!
Publik, terlebih peserta kontestasi, sangat berkepentingan terhadap cita rasa para \’koki\’ di lembaga ini. Perkara itu bukan hanya menjadi lirikan banyak pihak, tapi sudah dipelototi dari berbagai penjuru. Apakah koki-koki itu taat pada \’menu\’ yang sudah tersedia, atau justru demen berspekulasi meracik hidangan sesuai selera pesanan salah satu kontestan pemilu.
Kalaupun kemudian muncul dugaan ada main mata antara salah satu kontestan dengan salah satu atau salah dua komisioner, atau malah seluruh komisioner di KPU, sudah barang tentu bakal menciderai marwah demokrasi itu sendiri.
Kecurigaan tesebut bisa diawali lewat angin yang berhembus kencang dari arah dapur KPU. Bila mengantar aroma santer menu kongkalingkong, jangan salahkan kalau publik lantas menamai hidangan itu sebagai barang haram. Lantaran telah mengangkangi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Seandainya kecurigaan itu makin menggelembung, dosa berikutnya yang tidak kalah berat disandang oknum KPU yang telah berkhianat adalah predikat sebagai \’Raja Tega\’. Disebut demikian karena komisioner bersangkutan sama saja sudah mengorbankan anggaran pemilu yang luar biasa besar yang dikeluarkan pemerintah dari hasil duit pajak rakyat.
Sederet sikap skeptis yang ditunjukkan banyak kalangan yang dialamatkan pada KPU, bukan merupakan sebentuk ekspresi dari rasa benci apalagi dengki yang menggunung. Ini lebih kepada luapan rasa sayang sekaligus hormat dan penghargaan tinggi demi menjaga martabat KPU, agar tidak tergelincir dan terpuruk dalam kubangan yang berpotensi menyandera independensi komisi tersebut.
Kiranya motivasi itu pula yang bisa kita tafsir dari tweet presiden sekaligus pembawa acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Karni Ilyas, pada Twitter pribadinya, @karniilyas, baru-baru ini. Pada tweet-nya yang menangguk banyak respon itu, wartawan senior ini mengutip ucapan Joseph Stalin, salah seorang pejabat Rusia yang pada masa lalu disebut Uni Soviet.
Dalam postingannya Karni menukas,
\”Orang-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan hasil dari pemilu. Namun orang-orang yang menghitung vote itulah yang menentukan hasil dari pemilu.\”
Tak pelak, kicauan itu langsung dikerubuti banyak komentar. Bahkan, konon, dalam sekejap saja sudah menangguk 2,986 like dari warganet dan dibanjiri tak kurang 224 komentar.
Umumnya, kicauan Karni itu dimaknai bahwa sang wartawan senior ini, tengah mengendus aroma tidak sedap yang berasal dari lembaga KPU. Namun namanya juga komentar, banyak pula yang angkat bicara sambil ditumpangi kecurigaan berlebih.
Tidak sedikit pula yang nyeleneh malah meminta \’pertanggungjawaban\’ Karni untuk langsung menunjuk hidung sasaran tembak dari cuitannya. Permintaan itu disodorkan sambil diberi embel-embel demi penyelamatan proses demokrasi di negeri ini.
Kira-kira mereka ingin berkata, dengan kapasitas dan kredibilitas seorang Karni, bisa dibilang kicauan yang disampaikannya bukan tanpa makna, bukan sebatas iseng-iseng belaka. Pasti ada sinyalemen penting yang sedang dikirimnya.
Sudahlah jangan menjadi peragu, bongkar saja bila memang ada indikasi kebobrokan yang sedang berlangsung di tubuh lembaga itu, atau tengah berlangsung konspirasi kotor di kepala oknum komisionernya.
Terlebih lagi, kalau di tataran KPU saja sudah bersemayam patgulipat atau ada manuver di bawah meja, atau apa pun sebutannya, lantas bagaimana lagi dengan KPU di daerah-daerah, lebih-lebih pada wilayah yang sedang menyelenggarakan pemilu saat ini. Bukan tidak mungkin kebobrokan serupa juga sudah merambah kemana-kemana.
\”Hadeh, please deh Pak Karni, dibuka saja biar semua menjadi terang-benderang. Agar duit negara yang dipakai buat mengongkosi pesta demokrasi ini tidak mubazir, terbuang cuma-cuma lantaran ulah oknum-oknum KPU sontoloyo itu,\” begitu kira-kira ungkapan khalayak.
Kalau benar Karni Ilyas ternyata sedang mengendus aroma kecurangan di KPU, bagaimana dengan kita di Lampung, apakah juga sedikit-sedikit atau malah sudah santer turut mengendus aroma yang sama seperti yang dicium Bang Karni? (Hendri Std)