“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”
Saya mengawali tulisan ini melalui kutipan legendaris sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Lewat “Tetralogi Pulau Buru” yang ditulisnya, hal macam membaca, berdiskusi dan menulis jadi rutinitas saya selama 15 semester di bangku perkuliahan.
Kurang lebih 7 tahun lalu, saya memutuskan dan berkesempatan menjadi reporter di salah satu surat kabar, Lentera Swara Lampung namanya. Kuliah jurusan Bimbingan Konseling Islam kemudian berkeinginan menjadi jurnalis, jelas pemikiran saya sangat dipengaruhi oleh Pram.
Meski kru redaksi kerap mencandai surat kabar ini sebagai koran gurem, idealisme pemberitaan menjadi acuan saat ‘lakon’ dimainkan. Pada 2015 misalnya, El Shinta, seorang jurnalis perempuan menyabet Penghargaan Saidatul Fitriah saat masih berseragam Lentera Swara Lampung.
Kala itu tulisan berseri yang dibuat El Shinta tentang dugaan adanya aliran sesat di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Kemiling, Bandarlampung ditetapkan sebagai pemenang Penghargaan Saidatul Fitriah.
Terlepas dari narasi di atas, saya boleh bilang Lentera Swara Lampung cukup ketat dalam persaingan isu dengan media lainnya. Sebab, persaingan isu pemberitaan hanya seperti formalitas belaka saat ini, lebih ke siapa yang pertama memberitakan apa.
Arus informasi yang begitu deras jadi faktor utama perilaku “siapa cepat” dalam konteks pemberitaan, di mana tiap orang yang memiliki gadget menjadi sasaran pemberitaan.
Di sisi lain, Dewan Pers selaku lembaga yang dibentuk untuk mengembangkan kemerdekaan, meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional, bisa dibilang abai terhadap pertumbuhan media online di Indonesia.
Berdasarkan googling, Di Lampung saja ada ribuan website media online yang jumlahnya tidak diketahui pasti. Tidak masalah sebenarnya dengan jumlah tersebut, menjadi masalah jika seseorang tanpa ilmu jurnalistik mengatasnamakan pemilik atau reporter dari suatu media. Terciptalah media yang sarat kepentingan pribadi/kelompok tanpa mempertimbangkan urgensi pemberitaan.
Hal tersebut tentu menurunkan kualitas pemberitaan. Puluhan reporter di sebuah job desk yang sama semisal, cukup sering mewartakan hal serupa. Reporter cenderung ambil angle tercepat dan mengenyampingkan penggalian informasi. Kecenderungan takut mempertanyakan persoalan sensitif pun sudah menjadi pemandangan biasa.
Saya yang masih aktif di lapangan, terkadang menemukan reporter yang hanya bermodal agenda pejabat. Padahal aspek sosial selalu menyajikan isu menarik apabila dikaji secara mendalam.
Tinggal mau jadi seperti apa? Sebab seorang jurnalis adalah apa yang ia tulis. Terpelajar seperti jurnalis harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. (Agis)