23 Juli, Hari Anak Nasional (HAN), kembali hadir di tengah hiruk pikuk realita pahit yang menyelimuti anak-anak Indonesia.
Meski hampir setengah abad merayakan HAN, Namun apakah permasalahan anak di RI telah usai? Tentu belum, masih banyak PR terkait perlindungan dan hak anak. Mari sedikit penulis ulas! .
Pertama, permasalahan Kekerasan seksual. bagaikan monster yang terus mengintai, menghantui masa depan anak-anak kekerasan seksual setiap tahun tak kunjung “surut”.
Setidaknya, pada tahun 2023 berdasarkan Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak.
Mirisnya, kekerasan seksual menempati urutan pertama, dengan korban terbanyak anak berjenis kelamin perempuan. Parahnya, “predator” seksual tak jarang berasal dari orang terdekat, semisal paman, guru, bahkan orang tua. Mereka menjelma menjadi “monster” seksual yang merenggut rasa aman dan menyisakan trauma mendalam terhadap anak.
Kedua, minimnya tontonan yang menuntun. Era digitalisasi, alih-alih menjadi gerbang ilmu pengetahuan, justru menjadi lubang hitam bagi anak-anak. Konten dewasa yang mudah diakses bagaikan racun yang menggerogoti moral dan mental mereka.
Minimnya tontonan edukatif di televisi dan kurangnya pengawasan orang tua terhadap gawai anak, membuat mereka terpapar konten yang tidak sesuai dengan usia dan perkembangannya.
Padahal berdasarkan teori empirisme John Locke, “Anak-anak bagaikan kertas putih” yang bermakna anak-anak digambarkan seperti halnya kertas kosong yang karakternya bisa ditulis oleh berbagai pengalaman yang ia rasakan.
Di sinilah, orang tua menjadi penulis kertas kosong pertama bagi anak. Namun, alih-alih menulis hal baik, orang tua anak saat ini malahan kebanyakan telah memodali gawai terhadap anak sejak umur 3 tahun.
Tidak masalah jika orang tua anak beralasan menyesuaikan perkembangan zaman. Tetapi Peranan dan pengawasan orang tua selama anak memainkan gawai sangat dibutuhkan, bukan hanya dibiarkan semata.
Ketiga, fasilitas ramah anak masih menjadi mimpi bagi banyak daerah di Indonesia. Di kota-kota yang menyandang predikat Kota Layak Anak saja, infrastruktur dan layanan untuk anak masih jauh dari memadai.
Penulis merangkum tiga permasalahan tersebut. Besar harapan HAN 2024 yang mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” tidak hanya menjadi seremoni dan slogan belaka, HAN harus menjadi momen evaluasi dan titik balik untuk mewujudkan Indonesia Ramah Anak.
Bersama-sama, kita harus bahu membahu menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang dengan penuh potensi.
Sebab, masa depan bangsa terletak pada kualitas anak-anak hari ini. Visi Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud ketika mampu melindungi dan memberdayakan generasi penerus. (Luki)